Ada
yang bilang, cinta pertama itu selalu memiliki kesan yang tak mudah untuk
dilupakan. Bahkan seorang teman berkata padaku bahwa terkadang ia merindukan
masa itu, walaupun cinta yang dialaminya tumbuh di bawah atap sekolah. Jujur,
aku tertawa mendengar setiap sesi yang ia ceritakan tentang seorang yang ia
panggil sebagai mantan, tentang sosok anak laki-laki berseragam SMA yang mampu
mengalihkan perhatiannya, dan mampu mengambil hatinya. Ada saat dimana aku tak
sependapat dengannya mengenai definisi cinta pertama yang penuh warna, namun
beberapa saat kemudian, ketika sosokmu tiba-tiba hadir dan memenuhi ingatanku,
aku baru percaya dengan itu. Tentang bagaimana cinta pertama yang mampu menghadirkan
warna dalam hidupku, dari mulai merah muda hingga hitam tua. Cinta yang telah
menerbangkan dan lantas menghempaskanku kembali tanpa perduli aku siap atau tidak
untuk menerima sakitnya. Sebenarnya bukan kau yang menghempaskanku, melainkan
takdir. Ah, maaf, sejak kapan aku menyalahkan takdir? Bukankah setiap luka yang kita pernah rasakan karena kesalahan kita?
Itu kata-katamu dulu, ketika aku menangis dibahumu. Aku ingat benar, ketika kau
berkata bahwa, sepahit apapun kehidupan
ini, tak sepantasnya kita menyalahkan takdir, karena bagaimanapun kita yang
menjadi penyebab atas segala sakit yang kita rasa. Pertanyaanku selalu,
sayang, siapa yang memulai ini semua? Kamu atau aku? Ah, mengapa Tuhan
menghadirkan cinta pertamaku justru seseorang sepertimu? Seseorang yang
menurutku tak pernah mau memperjuangkanku ketika sebagian laki-laki memperjuangkan
wanitanya. Apa kau malu memperjuangkan seorang nasrani sepertiku? Atau kau tak
pernah benar-benar serius dengan semua kata-katamu?
3
tahun, itu adalah waktu yang cukup lama untuk ukuran cinta pertama bagi wanita
yang sama sekali tak pernah mengenal cinta di usiaku saat itu. Dan kau, kau
hadir dan mengenalkannya padaku, bahkan berkata bahwa hanya bersama akulah kau
akan hidup, bukan dengan yang lain. Tapi, kenyataannya??? Apa sekarang kita
bersama? Apa sekarang ada cincin yang melingkar di jari manisku? Tidak!!
Aku
lupa bagaiman cinta yang disembah sebagian orang itu membuat kita hanyut
didalamnya, bahkan sampai membuatmu berkata “aku hanya akan menikah dengan
kamu, bukan dengan yang lain”. Hei, aku wanita!! Aku mudah untuk menerima
janji. Aku mudah untuk menagih itu kemudian. Dan aku mudah juga untuk menangis
ketika ucapanmu tak sesuai dengan apa yang kau lakukan. Aku wanita. Dan wajar
kalau dulu aku menagih janjimu, karena aku ingin memulai semua… kehidupan
layaknya orang lain, berkeluarga….
Tapi
yang kita lakukan adalah memulai semua kenyataan bahwa kau dan aku tak
seharusnya berjalan selama 3 tahun. tak seharusnya….
Lantas,
mengapa kau membawa aku terlalu jauh? Sampai akhirnya aku terbawa suasana cinta
yang tak sepantasnya terjadi… kenapa sayang? Apa kau punya cukup alasan untuk
menjawab semua tanyaku? Atau kau masih dengan sikapmu?
Alah,
sudahlah… aku tak perlu menanyakannya lagi. Mungkin, aku tahu alasannya. Tapi,
menua bersamaku tanpa ikatan?? Boleh aku bertanya padamu? Apa ini caramu untuk
memperjuangkanku?
Kata
seorang padaku, kau masih terus menungguku. Menunggu untuk apa? Menunggu aku
melepas kesendirianku? Tak perlu kau lakukan itu. Menikahlah. Bukan kesalahanmu
kalau kini kita seperti ini. Menikahlah sayang, aku berjanji tak akan
menangisimu seperti dulu. Jangan pernah menunggu aku, karena aku akan terus
dengan kesendirianku.
Lupakan
aku… cukuplah masa bersedihmu, karena ada banyak wanita yang bersedia menua
bersamamu, yang rela menunggumu ketika malam datang dan kau belum juga pulang,
wanita yang rela merawat anak-anakmu yang nakal namun cerdas, juga wanita yang
senantiasa mendengarkanmu membaca al-qur’an disepanjang malam. Dan wanita itu,
bukan seorang nasrani sepertiku…
Jemputlah
wanitamu sayang, jemputlah ia seperti kau pernah menjemputku….