Terkadang
sesuatu itu hadir, mengisi setiap relung jiwa yang kosong dan butuh akan
kehadiran sosok yang menyenangkan.
Aku
teringat ketika hujan membawakan sesosok yang tak kukenal mendekat dan berdiri
tepat disampingku, ia terlihat hampir basah karena terlalu jauh mencari tempat
berteduh. Kuperhatikan ia sibuk mengelapi lengan kemejanya dengan tangan yang
juga basah dan sesekali mendekap erat tubuhnya seolah ingin memberikan
kehangatan kepada dirinya sendiri.
Aku
berpikir, mungkin jika bukan karena
hujan waktu itu, aku tak akan pernah mengenalnya. Mngh, maksudku, ketika
seorang teman mengenalkanku dengannya tempo hari, aku hanya bisa diam dan tak
ada bahan pembicaraan yang akan membawa kami pada obrolan panjang lebar yang
ternyata membawa kami pada situasi yang membingungkan.
Pernah
suatu ketika, aku bertemu dengannya disebuah pesta pernikahan seorang teman.
Pada saat itu aku melihatnya dengan seorang wanita, mereka berdua tampak sangat
serasi. Sementara aku, aku sendiri menghadiri pesta itu bersama kekasihku.
Disana, kami saling bercerita, saling mengenalkan pasangan kami masing-masing.
Ah,
kenangan, seandainya semua itu dapat kembali tak akan ku berada dalam situasi
seperti saat ini.
Beberapa
waktu yang lalu aku mendekap kembali kenangan itu, membawanya melewati mesin
waktu, dan lantas menghadirkan sisi terbaik dari sebuah masa yang telah usang.
Ia
memang tak seindah dulu, yang mampu menjadikan hembusan angin menjadi sajak
rindu yang menghanyutkan, dan menjadikan udara panas menjadi sejuk lewat senyum
yang selalu tersungging dibibirnya. Kini, kenangku telah terbawa arus waktu
yang membawa luka sendiri untukku. Bahkan sajak cinta yang pernah ia ciptakan
berubah menjadi pisau belati yang tersembunyi dibalik punggungnya, yang kapan saja
dapat melukai hati siapapun yang menentangnya.
Mata
kami bertemu, namun tak ada kata terucap selain suara hembusan nafas kami yang
seolah mewakili setiap perasaan malam itu. Ia sibuk dengan kopi yang terus
mengambil perhatiannya dariku. Sementara itu, aku diam memerhatikan sikapnya
yang sedingin udara malam kota batu.
“seandainya
kita tak berbeda, apa kau tetap dengan keputusanmu?” ia membuka mulutnya dengan
pertanyaan yang sangat sulit untukku menjawab itu.
Aku
tak langsung menjawab pertanyaannya, aku butuh waktu untuk memilah setiap kata
yang akan keluar dari mulutku. Bahkan jika bisa memilih, aku tak ingin menjawab
pertanyaan itu, aku tak mau.
“tak
ada kata seandainya untuk kita zacki” aku menatap matanya yang kini menatapku
dengan penuh harap “yang kita hadapi saat ini adalah sebagian kecil dari
rahasia Tuhan. Tak ada kata bahwa kita ini berbeda atau sama, karena sebenarnya
kita ini memang sama. Tuhan hanya satu, hanya saja cara kita meyakininya yang
berbeda”
Aku
meraih jaket yang tersimpan di kursi sebelahku dan mengenakannya “aku gak bisa
berlama-lama, sampai disini pertemuan kita. Salam untuk istrimu” aku tersenyum
meninggalkannya yang tengah terpaku dengan kepergianku. Tuhan, aku tak bisa
berlama-lama dengannya untuk meratapi nasib kisah kami yang tak seindah kisah
lain. Terlebih, aku tak ingin bernostalgia dengan masa lalu yang telah terbang
bersama kehidupan seorang wanita yang mencintainya dengan sepenuh hati karena
Tuhan, dan aku tak mungkin membiarkannya terus bersamku demi meratapi kisah tak
bertuan. Ia telah berada disetiap mimpi sempurna wanitanya, menjadi anak yang
diinginkan orangtuanya. Cukuplah itu
untukku, setidaknya takkan ada air mata seorang ibu yang menangisi keputusan
anaknya.
Selepas
malam itu, aku tak pernah lagi berhadapan dengannya, aku memutuskan untuk
meninggalkan kota batu sesegera yang ku mampu. Meninggalkan sejuta kenangan
yang dengan manisnya pernah kami bawa, seraya berharap setiap mimpi kami akan
berakhir manis tanpa air mata. Namun kenyataannya berbeda, Tuhan memberikan
kami sebuah suguhan yang tak hanya membuat kami yang hancur, melainkan
orangtua. Hancur. Putus asa. Seperti itulah perasaan kami, bahkan aku tak mampu
meredam rasa kecewaku terhadap kenyataan, aku bertingkah seperti remaja putus
cinta yang memandang dunia seolah tak berpihak padaku, aku melarikan diri
ditengah kecewa dan berharap semua akan baik saja setelah aku kembali.
Kini,
aku memulai kembali semuanya. Tak ada sesuatu yang ku sesali dari pertemuanku
dengannya, karena semua yang kami hadapi kemarin adalah rahasia besar Tuhan
yang telah terbuka untuk kami. Pertemuan bukan berarti bahwa kami akan terus
bersama, pertemuan adalah bagian dari sebuah perasaan dan keikhlasan. Bahwa
pada akhirnya disaat-saat terburukku aku harus mampu mengikhlaskan perasaanku
terhadapnya, dan membiarkan ia bersanding dengan seseorang yang telah sangat
mencintainya. Tak ada yang salah antara aku dan kamu, hanya saja, masa muda
membuat kita memandang segala sesuatu sebagai cinta.
“jangan
kecewakan aku, bahagiakan istrimu. Dia adalah pilihan yang tepat” aku tersenyum
meraih undangan yang tergeletak di meja kerjaku siang itu, ia memberikannya
dengan wajahnya yang bimbang.
“aku
akan datang dengan gaun terbaikku, kau akan melihat aku dengan penuh kekaguman”
gurauku, kami berduapun tertawa. Hanya saja, ia tak tahu bahwa tawaku terganjal
hati yang perih. Bagaimana mungkin aku tak tahu, bahwa pernikahannya bertujuan
untuk memisahkan aku dengan Zacki.
Lepaskan
dia Amanda, suara hatiku saat itu berbisik “maaf pak Zacki, saya rasa sebentar lagi
saya akan ada meeting external” tandasku seraya menatap jam di lenganku.
“amanda”
panggilnya ketika aku tengah ‘menyiapkan’ berkas untuk meeting “maafkan aku
atas setiap luka yang membuatmu kecewa. Aku tak tahu jika semuanya akan seperti
ini” ia menatapku dalam “aku tak menyalahkanmu jika kamu membenciku”
“sudahlah,
tak perlu ada yang dimaafkan”
Seketika
kami hanya menatap satu sama lain, tak ada kata yang keluar untuk beberapa
waktu sampai akhirnya ia memutuskan untuk pamit dan meninggalkanku sendiri.
Sejenak,
aku terbawa oleh lamunan yang membawakanku luka dan lantas membuatku berlinang
air mata. Pergilah bersama wanitamu, aku akan baik-baik saja. Jangan
khawatirkan aku.
Namun
lagi-lagi kenyataan membawaku pada situasi sulit, diam-diam kami masih tetap
meluangkan waktu untuk bertemu. Walau hanya untuk sekedar membicarakan
rutinitas.
Aku
mengerti bahwa direlung hatinya masih ada aku, tapi apakah pantas aku menemui
laki-laki yang pernah sangat kukasihi sementara ia telah beristri?
Dikegamangan
itu, ia mengajakku bertemu di kota batu. Tempat yang telah menghadirkan segala
hangatnya kebersamaan kami sebelumnnya, tempat yang menjadi saksi setiap janji
dan juga tawa kami. Tempat yang juga aku memutuskan untuk melupakannya
selamanya dari hidupku.
Aku
bukan wanitamu, dan kau bukanlah lelakiku. Mengertilah, aku takkan pernah
kembali ke masa lalu dan mengulang kesalahan yang pernah kita lakukan. Hiduplah
untuk masa depanmu, bersama wanita yang menjadikanmu imamnya dan menumpukan
segala harapannya daripada kamu.
Aku
mencintaimu, dulu..
No comments:
Post a Comment