Tuesday, November 3, 2015

Untuk Yang Pernah Terlewat…



Terkadang sesuatu itu hadir, mengisi setiap relung jiwa yang kosong dan butuh akan kehadiran sosok yang menyenangkan.
Aku teringat ketika hujan membawakan sesosok yang tak kukenal mendekat dan berdiri tepat disampingku, ia terlihat hampir basah karena terlalu jauh mencari tempat berteduh. Kuperhatikan ia sibuk mengelapi lengan kemejanya dengan tangan yang juga basah dan sesekali mendekap erat tubuhnya seolah ingin memberikan kehangatan kepada dirinya sendiri.
Aku berpikir,  mungkin jika bukan karena hujan waktu itu, aku tak akan pernah mengenalnya. Mngh, maksudku, ketika seorang teman mengenalkanku dengannya tempo hari, aku hanya bisa diam dan tak ada bahan pembicaraan yang akan membawa kami pada obrolan panjang lebar yang ternyata membawa kami pada situasi yang membingungkan.
Pernah suatu ketika, aku bertemu dengannya disebuah pesta pernikahan seorang teman. Pada saat itu aku melihatnya dengan seorang wanita, mereka berdua tampak sangat serasi. Sementara aku, aku sendiri menghadiri pesta itu bersama kekasihku. Disana, kami saling bercerita, saling mengenalkan pasangan kami masing-masing.
Ah, kenangan, seandainya semua itu dapat kembali tak akan ku berada dalam situasi seperti saat ini.

Beberapa waktu yang lalu aku mendekap kembali kenangan itu, membawanya melewati mesin waktu, dan lantas menghadirkan sisi terbaik dari sebuah masa yang telah usang.
Ia memang tak seindah dulu, yang mampu menjadikan hembusan angin menjadi sajak rindu yang menghanyutkan, dan menjadikan udara panas menjadi sejuk lewat senyum yang selalu tersungging dibibirnya. Kini, kenangku telah terbawa arus waktu yang membawa luka sendiri untukku. Bahkan sajak cinta yang pernah ia ciptakan berubah menjadi pisau belati yang tersembunyi dibalik punggungnya, yang kapan saja dapat melukai hati siapapun yang menentangnya.
Mata kami bertemu, namun tak ada kata terucap selain suara hembusan nafas kami yang seolah mewakili setiap perasaan malam itu. Ia sibuk dengan kopi yang terus mengambil perhatiannya dariku. Sementara itu, aku diam memerhatikan sikapnya yang sedingin udara malam kota batu.
“seandainya kita tak berbeda, apa kau tetap dengan keputusanmu?” ia membuka mulutnya dengan pertanyaan yang sangat sulit untukku menjawab itu.
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya, aku butuh waktu untuk memilah setiap kata yang akan keluar dari mulutku. Bahkan jika bisa memilih, aku tak ingin menjawab pertanyaan itu, aku tak mau.
“tak ada kata seandainya untuk kita zacki” aku menatap matanya yang kini menatapku dengan penuh harap “yang kita hadapi saat ini adalah sebagian kecil dari rahasia Tuhan. Tak ada kata bahwa kita ini berbeda atau sama, karena sebenarnya kita ini memang sama. Tuhan hanya satu, hanya saja cara kita meyakininya yang berbeda”
Aku meraih jaket yang tersimpan di kursi sebelahku dan mengenakannya “aku gak bisa berlama-lama, sampai disini pertemuan kita. Salam untuk istrimu” aku tersenyum meninggalkannya yang tengah terpaku dengan kepergianku. Tuhan, aku tak bisa berlama-lama dengannya untuk meratapi nasib kisah kami yang tak seindah kisah lain. Terlebih, aku tak ingin bernostalgia dengan masa lalu yang telah terbang bersama kehidupan seorang wanita yang mencintainya dengan sepenuh hati karena Tuhan, dan aku tak mungkin membiarkannya terus bersamku demi meratapi kisah tak bertuan. Ia telah berada disetiap mimpi sempurna wanitanya, menjadi anak yang diinginkan orangtuanya.  Cukuplah itu untukku, setidaknya takkan ada air mata seorang ibu yang menangisi keputusan anaknya.

Selepas malam itu, aku tak pernah lagi berhadapan dengannya, aku memutuskan untuk meninggalkan kota batu sesegera yang ku mampu. Meninggalkan sejuta kenangan yang dengan manisnya pernah kami bawa, seraya berharap setiap mimpi kami akan berakhir manis tanpa air mata. Namun kenyataannya berbeda, Tuhan memberikan kami sebuah suguhan yang tak hanya membuat kami yang hancur, melainkan orangtua. Hancur. Putus asa. Seperti itulah perasaan kami, bahkan aku tak mampu meredam rasa kecewaku terhadap kenyataan, aku bertingkah seperti remaja putus cinta yang memandang dunia seolah tak berpihak padaku, aku melarikan diri ditengah kecewa dan berharap semua akan baik saja setelah aku kembali.

Kini, aku memulai kembali semuanya. Tak ada sesuatu yang ku sesali dari pertemuanku dengannya, karena semua yang kami hadapi kemarin adalah rahasia besar Tuhan yang telah terbuka untuk kami. Pertemuan bukan berarti bahwa kami akan terus bersama, pertemuan adalah bagian dari sebuah perasaan dan keikhlasan. Bahwa pada akhirnya disaat-saat terburukku aku harus mampu mengikhlaskan perasaanku terhadapnya, dan membiarkan ia bersanding dengan seseorang yang telah sangat mencintainya. Tak ada yang salah antara aku dan kamu, hanya saja, masa muda membuat kita memandang segala sesuatu sebagai cinta.
“jangan kecewakan aku, bahagiakan istrimu. Dia adalah pilihan yang tepat” aku tersenyum meraih undangan yang tergeletak di meja kerjaku siang itu, ia memberikannya dengan wajahnya yang bimbang.
“aku akan datang dengan gaun terbaikku, kau akan melihat aku dengan penuh kekaguman” gurauku, kami berduapun tertawa. Hanya saja, ia tak tahu bahwa tawaku terganjal hati yang perih. Bagaimana mungkin aku tak tahu, bahwa pernikahannya bertujuan untuk memisahkan aku dengan Zacki.
Lepaskan dia Amanda, suara hatiku saat itu berbisik “maaf pak Zacki, saya rasa sebentar lagi saya akan ada meeting external” tandasku seraya menatap jam di lenganku.
“amanda” panggilnya ketika aku tengah ‘menyiapkan’ berkas untuk meeting “maafkan aku atas setiap luka yang membuatmu kecewa. Aku tak tahu jika semuanya akan seperti ini” ia menatapku dalam “aku tak menyalahkanmu jika kamu membenciku”
“sudahlah, tak perlu ada yang dimaafkan”
Seketika kami hanya menatap satu sama lain, tak ada kata yang keluar untuk beberapa waktu sampai akhirnya ia memutuskan untuk pamit dan meninggalkanku sendiri.
Sejenak, aku terbawa oleh lamunan yang membawakanku luka dan lantas membuatku berlinang air mata. Pergilah bersama wanitamu, aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku.
Namun lagi-lagi kenyataan membawaku pada situasi sulit, diam-diam kami masih tetap meluangkan waktu untuk bertemu. Walau hanya untuk sekedar membicarakan rutinitas.
Aku mengerti bahwa direlung hatinya masih ada aku, tapi apakah pantas aku menemui laki-laki yang pernah sangat kukasihi sementara ia telah beristri?
Dikegamangan itu, ia mengajakku bertemu di kota batu. Tempat yang telah menghadirkan segala hangatnya kebersamaan kami sebelumnnya, tempat yang menjadi saksi setiap janji dan juga tawa kami. Tempat yang juga aku memutuskan untuk melupakannya selamanya dari hidupku.

Aku bukan wanitamu, dan kau bukanlah lelakiku. Mengertilah, aku takkan pernah kembali ke masa lalu dan mengulang kesalahan yang pernah kita lakukan. Hiduplah untuk masa depanmu, bersama wanita yang menjadikanmu imamnya dan menumpukan segala harapannya daripada kamu.
Aku mencintaimu, dulu..

No comments:

Post a Comment