![]() | |
dari google |
Kata mama, ia mendengarnya menangis kemarin, di kamar
mandi, seorang diri. Aku bergeming
mendengar pernyataan itu. Lantas kepalaku di
penuhi bayangan tentang sosoknya yang hadir mengisi ingatanku, tentang
bagaimana nafasnya yang sedikit berat, tubuhnya yang mudah lelah, pakaiannya
yang lusuh, juga hidupnya yang jauh dari sanak saudara. Dia memang bukan sebatang kara, ia tinggal di rumah
sederhana peninggalan suaminya di temani anak laki-laki mereka yang menginjak
usia 23 tahun. Anak laki-laki yang kini
harus menjadi tulang punggung keluarga, yang karenanya ia rela untuk bekerja
serabutan demi mendapatkan uang untuk di bawa pulang. Terlebih agar keduanya bisa makan dan bertahan hidup
meskipun dengan himpitan ekonomi yang sesekali mencekik mereka. Aku bukannya tak tahu tentang seberapa sulit keadaan
mereka, ketika terkadang untuk sekedar makanpun ia harus bekerja bantu-bantu di
rumah para tetangga, hal yang seringkali membuat hatiku seolah tercabik
melihatnya. Ya, hanya itu memang yang
bisa ku lakukan! Selebihnya, aku hanya
berharap bahwa suatu hari nanti aku tak hanya sekedar menaruh prihatin.
Sebenarnya, anak laki-laki itu bukan anak satu-satunya,
karena selain anak laki-laki itu ia memiliki seorang anak perempuan yang sudah berkeluarga,
cucu serta cicit. Bahkan, berdasarkan
pengetahuanku ia juga memiliki dua adik laki-laki yang sesekali mengunjunginya,
walaupun intensitasnya tak terlalu sering. Bahkan untuk ini aku bersaksi bahwa setahun hanya 2 kali mereka mengunjungi
kakak perempuan satu-satunya itu, idul fitri dan idul adha. Aku bahkan berfikiran bahwa ia tak bisa mengandalkan
mereka, terlebih karena mereka sudah memiliki kehidupan serta tanggung jawab
sendiri.
Lantas apakah ia bisa mengandalkan anak, cucu, atau adiknya
tersebut? menurutku tidak, ia tidak bisa berharap banyak pada mereka, terlebih
pada anak perempuan satu-satunya tersebut. Bagaimana dia bisa mengandalakan anak perempuannya, sementara ia juga
memiliki kesulitan yang tak kalah dengan ibunya. Mulai dari anak-anaknya yang masih perlu banyak biaya untuk sekolah, di
tambah dengan kondisi suaminya yang sudah tidak bisa mencari nafkah lantaran
sakit yang beberapa tahun terakhir di deritanya. Jangankan untuk meminta uang pada anak perempuannya tersebut, sekedar untuk
mengeluhpun kadang ia sungkan, takut kalau keluhannya bisa menambah beban
fikiran bagi sang anak. alhasil, dia lebih memilih untuk tak memusingkan
penderitaannya sendiri. Bahkan yang sering
kali aku lihat, ketika anak serta cucu-cucunya datang ia selalu berupaya
memberi yang terbaik untuk mereka, meski itu berarti ia harus meminjam
kesana-kemari. Baginya, tak ada
kebahagiaan di dunia ini selain bisa berkumpul dengan anak serta cucu-cucunya,
walau tak jarang anaknya datang berkunjung untuk sekedar mengadu kesulitan yang
tengah di hadapinya. Tentang bagaimana
ia yang seharusnya hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga harus membalikkan
kendali dalam keluarga agar tetap dapat hidup di tengah kesulitan yang semakin
menjempit.
Jujur, aku tak ingat kapan terakhir melihat anak perempuannya berkunjung, karena setahuku dalam 1 tahun tak sampai 5 kali mereka datang menjenguk. Aku mengerti apa penyebab utamanya, ekonomi. Himpitan ekonomi membuat mereka saling meredam rindu untuk bersua. Himpitan ekonomi juga yang membuat mereka pada akhirnya hidup dalam kesulitan demi kesulitan sekedar untuk menemui makan sehari-hari.
Aku tak mengerti kenapa bahasan ini menjadi begitu sulit,
terlebih jika mengingat bagaimana ia yang kini sudah mulai sakit-sakitan. Bayanganku kembali pada masa yang lalu, saat suaminya
masih ada. dulu, dialah wanita yang menjaga serta merawat suaminya yang
seringkali sakit. Setiap kali sakit itu
datang ia yang akan merawatnya hingga pulih kembali, menjaganya, memberikan
ramuan herbal kepadanya, serta membawanya ke rumah sakit dengan uang hasil kerja
suaminya atau kadang meminta dari saudara-saudara suaminya. Sampai akhir hayat suaminya, ialah yang merawatnya, ialah
orang yang paling bersedih atas kehilangan itu, yang bersama kepergian itu pula
hilanglah pegangannya selama ini tentang laki-laki penopang kehidupan keluarga
yang pergi seiring berjalannya usia.
Kini, dia sendiri. Tak sendiri memang, karena ia masih punya anak laki-laki yang tinggal seatap
dengannya. Tapi, dalam urusan
berkeluh kesah, ia tak punya pendengar yang dengannya juga hadir solusi untuk
menghadapi semua kesulitan yang tengah di hadapi. Setidaknya itu yang seringkali membuatku berpikir
tentangnya terlebih jika ingatan itu datang lagi, nafasnya yang sedikit berat, tubuhnya yang mudah lelah, jantungnya yang
seringkali berdebar begitu cepat, untuk yang terakhir dia sendiri yang
mengatakannya padaku beberapa waktu lalu ketika ia datang untuk meminta sesuatu
seraya menangis. Pernah aku berpikir; kalau dia sakit nanti, siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan merawatnya? Apakah ia punya uang untuk di bawa ke rumah sakit? Atau, akankah ada yang bersedia membantunya jika ia sampai
di rawat di rumah sakit? Lalu fantasiku
yang berlebihan membawaku pada pertanyaan, kalau kelak dia meninggal siapa yang
akan mengetahuinya lebih dulu? Apakah ia akan
meninggal sendirian di dalam kamarnya yang pengap itu dan di temukan beberapa
jam setelahnya? Apakah...Apakah...Apakah...Apakah...Bagaimanakah...Seperti apakah?????? Aku tak tahu!!! Aku benci fikiran seperti
itu, tapi aku juga tidak bisa mengenyahkan fikiran semacam itu ketika setiap
kemungkinan bisa saja terjadi pada dia.
Aku percaya, di luar sana masih banyak yang sepenanggungan
dengannya atau mungkin lebih parah dari situasi yang dihadapinya setiap hari. Tapi, bisakah kita melihat itu dengan biasa saja sementara
mereka yang mengalaminya harus berjuang hidup setiap harinya? catatan ini untuk
dia, sosok wanita tua yang kata mama menangis sendiri di dalam kamar mandi
karena tak bisa lagi menahan setiap beban yang terus di emban seorang diri.
No comments:
Post a Comment