Sunday, November 26, 2017

Dia

dari google


Kata mama, ia mendengarnya menangis kemarin, di kamar mandi, seorang diri. Aku bergeming mendengar pernyataan itu. Lantas kepalaku di penuhi bayangan tentang sosoknya yang hadir mengisi ingatanku, tentang bagaimana nafasnya yang sedikit berat, tubuhnya yang mudah lelah, pakaiannya yang lusuh, juga hidupnya yang jauh dari sanak saudara. Dia memang bukan sebatang kara, ia tinggal di rumah sederhana peninggalan suaminya di temani anak laki-laki mereka yang menginjak usia 23 tahun. Anak laki-laki yang kini harus menjadi tulang punggung keluarga, yang karenanya ia rela untuk bekerja serabutan demi mendapatkan uang untuk di bawa pulang. Terlebih agar keduanya bisa makan dan bertahan hidup meskipun dengan himpitan ekonomi yang sesekali mencekik mereka. Aku bukannya tak tahu tentang seberapa sulit keadaan mereka, ketika terkadang untuk sekedar makanpun ia harus bekerja bantu-bantu di rumah para tetangga, hal yang seringkali membuat hatiku seolah tercabik melihatnya. Ya, hanya itu memang yang bisa ku lakukan! Selebihnya, aku hanya berharap bahwa suatu hari nanti aku tak hanya sekedar menaruh prihatin.

Sebenarnya, anak laki-laki itu bukan anak satu-satunya, karena selain anak laki-laki itu ia memiliki seorang anak perempuan yang sudah berkeluarga, cucu serta cicit. Bahkan, berdasarkan pengetahuanku ia juga memiliki dua adik laki-laki yang sesekali mengunjunginya, walaupun intensitasnya tak terlalu sering. Bahkan untuk ini aku bersaksi bahwa setahun hanya 2 kali mereka mengunjungi kakak perempuan satu-satunya itu, idul fitri dan idul adha. Aku bahkan berfikiran bahwa ia tak bisa mengandalkan mereka, terlebih karena mereka sudah memiliki kehidupan serta tanggung jawab sendiri.

Lantas apakah ia bisa mengandalkan anak, cucu, atau adiknya tersebut? menurutku tidak, ia tidak bisa berharap banyak pada mereka, terlebih pada anak perempuan satu-satunya tersebut. Bagaimana dia bisa mengandalakan anak perempuannya, sementara ia juga memiliki kesulitan yang tak kalah dengan ibunya. Mulai dari anak-anaknya yang masih perlu banyak biaya untuk sekolah, di tambah dengan kondisi suaminya yang sudah tidak bisa mencari nafkah lantaran sakit yang beberapa tahun terakhir di deritanya. Jangankan untuk meminta uang pada anak perempuannya tersebut, sekedar untuk mengeluhpun kadang ia sungkan, takut kalau keluhannya bisa menambah beban fikiran bagi sang anak. alhasil, dia lebih memilih untuk tak memusingkan penderitaannya sendiri. Bahkan yang sering kali aku lihat, ketika anak serta cucu-cucunya datang ia selalu berupaya memberi yang terbaik untuk mereka, meski itu berarti ia harus meminjam kesana-kemari. Baginya, tak ada kebahagiaan di dunia ini selain bisa berkumpul dengan anak serta cucu-cucunya, walau tak jarang anaknya datang berkunjung untuk sekedar mengadu kesulitan yang tengah di hadapinya. Tentang bagaimana ia yang seharusnya hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga harus membalikkan kendali dalam keluarga agar tetap dapat hidup di tengah kesulitan yang semakin menjempit.

Jujur, aku tak ingat kapan terakhir melihat anak perempuannya berkunjung, karena setahuku dalam 1 tahun tak sampai 5 kali mereka datang menjenguk. Aku mengerti apa penyebab utamanya, ekonomi. Himpitan ekonomi membuat mereka saling meredam rindu untuk bersua. Himpitan ekonomi juga yang membuat mereka pada akhirnya hidup dalam kesulitan demi kesulitan sekedar untuk menemui makan sehari-hari.

Aku tak mengerti kenapa bahasan ini menjadi begitu sulit, terlebih jika mengingat bagaimana ia yang kini sudah mulai sakit-sakitan. Bayanganku kembali pada masa yang lalu, saat suaminya masih ada. dulu, dialah wanita yang menjaga serta merawat suaminya yang seringkali sakit. Setiap kali sakit itu datang ia yang akan merawatnya hingga pulih kembali, menjaganya, memberikan ramuan herbal kepadanya, serta membawanya ke rumah sakit dengan uang hasil kerja suaminya atau kadang meminta dari saudara-saudara suaminya. Sampai akhir hayat suaminya, ialah yang merawatnya, ialah orang yang paling bersedih atas kehilangan itu, yang bersama kepergian itu pula hilanglah pegangannya selama ini tentang laki-laki penopang kehidupan keluarga yang pergi seiring berjalannya usia.

Kini, dia sendiri. Tak sendiri memang, karena ia masih punya anak laki-laki yang tinggal seatap dengannya. Tapi, dalam urusan berkeluh kesah, ia tak punya pendengar yang dengannya juga hadir solusi untuk menghadapi semua kesulitan yang tengah di hadapi. Setidaknya itu yang seringkali membuatku berpikir tentangnya terlebih jika ingatan itu datang lagi, nafasnya yang sedikit berat, tubuhnya yang mudah lelah, jantungnya yang seringkali berdebar begitu cepat, untuk yang terakhir dia sendiri yang mengatakannya padaku beberapa waktu lalu ketika ia datang untuk meminta sesuatu seraya menangis. Pernah aku berpikir; kalau dia sakit nanti, siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan merawatnya? Apakah ia punya uang untuk di bawa ke rumah sakit? Atau, akankah ada yang bersedia membantunya jika ia sampai di rawat di rumah sakit? Lalu fantasiku yang berlebihan membawaku pada pertanyaan, kalau kelak dia meninggal siapa yang akan mengetahuinya lebih dulu? Apakah ia akan meninggal sendirian di dalam kamarnya yang pengap itu dan di temukan beberapa jam setelahnya? Apakah...Apakah...Apakah...Apakah...Bagaimanakah...Seperti apakah?????? Aku tak tahu!!! Aku benci fikiran seperti itu, tapi aku juga tidak bisa mengenyahkan fikiran semacam itu ketika setiap kemungkinan bisa saja terjadi pada dia.

Aku percaya, di luar sana masih banyak yang sepenanggungan dengannya atau mungkin lebih parah dari situasi yang dihadapinya setiap hari. Tapi, bisakah kita melihat itu dengan biasa saja sementara mereka yang mengalaminya harus berjuang hidup setiap harinya? catatan ini untuk dia, sosok wanita tua yang kata mama menangis sendiri di dalam kamar mandi karena tak bisa lagi menahan setiap beban yang terus di emban seorang diri.

No comments:

Post a Comment