Gambar dari google |
Aku melihat ia berdiri seraya terus memerhatikanku yang berada di escalator yang terus bergerak turun, seketika mata kami bertemu, ku lihat ia menarik nafas dalam dan melepaskannya seraya menggeleng lemah. Hatiku tersenyum menyaksikannya menatapku dengan begitu khawatir, karena ia selalu seperti itu setiap kali aku telat menemuinya dan tanpa kabar. Entah apa yang pernah di alaminya sehingga ia memiliki tingkat kekhawatiran yang teramat terahadapku.
"kamu darimana aja sih? Kamu udah keluar les dari jam 8 lho. Sekarang udah jam berapa? Handphone kamu kenapa mati? Aku kan udah bilang handphone jangan sampai lowbat. Kalau kamu kenapa-kenapa siapa coba yang bisa dihubungi?" kata-kata itu langsung memberondong keluar dari mulutnya ketika aku sudah berada tepat di depannya. Raut wajah khawatir itu nampak jelas, bahkan seperti yang aku tahu ia tak pernah bisa menyembunyikan raut itu dariku.
"aku habis makan sama teman-teman les" kataku pelan, berusaha untuk semeyakinkan mungkin sementara itu ku lihat ia menarik nafas dengan wajah yang masih menahan kesal.
"apa harus matiin handphone?" aku terdiam mendapati pertanyaan ini, aku tak ingin menjawab. Aku tak ingin menjawab.
Aku diam.
"Asya, kakak Tanya kamu, apa harus matiin handphone?" kali ini nadanya terdengar begitu galak, dan aku bisa melihat matanya menatapku lurus tanpa berkedip. Berusaha untuk mendapat jawaban yang diinginkan secepatnya.
"handphone aku jatuh tadi siang, terus nggak sengaja ke injek…" kataku tak berani menatap mata bulatnya.
"ke injek?"
Aku mengangguk lemah.
"Terus...?"
"Handphonenya rusak"
ia diam.
"aku minta maaf, aku bener-bener nggak sengaja kak"
ia memalingkan wajahnya ke arah lain, menarik nafasnya panjang dan kembali melihatku namun dengan emosi yang sedikit tertahan. "oke, mana sini handphonenya"
Buru-buru aku merogoh tasku, mencari-cari handphone yang tadi siang tak sengaja terinjak lantas memberikannya pada Rumi.
"Oh My God" matanya kembali menatapku dengan tatapan yang sangat galak bahkan ini bisa dikatakan lebih galak. Aku menunduk takut melihat tatapan itu. Aku takut mendengar kata-kata yang akan keluar dari mulutnya setelah ini, ya Tuhan, semoga ia tak memarahiku karena ini.
"kamu kok ceroboh banget sih Sya"
Aku diam.
"aku nggak tahu harus ngomong apalagi ke kamu"
Aku masih bergeming, tak berani untuk membalasnya. Matanya masih terpaku pada layar handphone yang retak parah dan mati total itu. Beruntunglah tak berapa lama kereta yang akan kami tumpangi tiba. Di sepanjang jalan ia sibuk berbicara di telepon dengan seseorang sehingga tak membahas perihal handphoneku. Meskipun begitu, aku masih bisa merasakan mata tajamnya sesekali memerhatikanku sebentar lantas kembali lagi dengan lawan bicaranya.
Tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaan aku tersenyum mendapati situasi ini, setidaknya untuk saat ini ia tak akan membuatku malu di depan para penumpang di gerbong yang kami tumpangi. Masalah di perjalanan menjelang pulang nanti, lebih baik aku diam saja mendengarkan dia berbicara, toh Rumi tak suka kalau aku terlalu membela diri karena kesalahan yang ku buat sendiri.
****
Jalan menuju rumah sudah begitu lengang, terlebih jam telah menunjukkan angka 11.27 malam, dan Rumi, ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tak terlalu kencang, terlebih memang ia selalu seperti itu. Sementara itu dari radio mobil, mengalun dengan begitu syahdu lagu-lagu dari Rumer yang membuatku tak kuasa ingin cepat-cepat tertidur.
heroes win
but sometimes they fail
some people cant believe it
but i need you human anyway
nothing less
i want my stars to fall to earth
its where we love, its where we hurt
"besok kamu sekolah?" Tanya Rumi memecah keheningan di antara kami.
"iya" kataku mencoba untuk bersikap se datar mungkin.
"besok abi sama aku mau ke makam umi, kalau kamu mau ikut, kita bisa sekalian jemput kamu di sekolah" jelasnya tanpa sedikitpun menoleh.
"nggak usah"
"kenapa?" Tanya nya sambil menoleh sekilas.
"nggak apa-apa"
cause i believe in you.. i believe in you..
you make it better...
you keep on coming through
so much i dont believe it
but i believe in you
astaga, lagu ini benar-benar mendukung untuk tertidur, kalau saja Rumi tidak sedang dalam keadaan kesal mungkin aku sudah bebaskan diriku dengan tidur dan membiarkan dia menikmati kesendiriannya ditemani lagu-lagu favoritnya ini. seandainya...
"aku minta maaf" katanya, setelah sekian lama hanya diam di balik kemudi. Mau tak mau aku menoleh menatapnya yang masih menatap lurus ke depan, melihat raut wajahnya yang begitu ku kasihi karena kelembutan juga kekerasannya. Sosok wanita yang hari-harinya bergelut tak hanya dengan urusan pribadinya, melainkan kehidupanku yang juga menjadi tanggung jawab yang harus di embannya.
"buat apa?"
"marah-marahin kamu" balasnya sambil melempar senyumnya yang lelah "aku udah capek banget nunggu kamu dari jam setengah 8, dan sampe jam setengah 10 kamu masih belum juga muncul. Di hubungi nggak bisa, siapa coba yang nggak khawatir" ku lihat senyum lemah itu dibibirnya, tersembunyi di balik lemah suaranya.
Hatiku tersenyum mendengar pengakuannya. Ia memang selalu seperti itu, menakutkan. Tapi di balik sikap dingin serta kerasnya, ia tetap menjadi malaikat untukku, yang selalu menjagaku, menyayangiku dengan begitu tulus, yang selalu mengutamakanku dari pada keperluannya, bahkan ia rela untuk menggantikan posisi umi karena tak ingin aku kehilangan figure seorang ibu saat tumbuh dewasa. Aku sempat menangis ketika tante sarah mengatakan bahwa Rumi sama sekali tak pernah memikirkan kehidupannya sendiri hanya karena akulah yang menjadi prioritasnya, bukan karirnya, pendidikannya, atau masa depannya, melainkan aku. Pernyataan yang membuatku berjanji pada diri sendiri, agar aku tak pernah menyakiti hatinya. Janji yang entah berapa kali ku langgar.
"aku sih udah biasa terima omelan kakak, udah kebal" jawabku asal, mendengar itu ia tersenyum ke arahku dan mengacak-acak rambutku yang sedikit lengket karena seharian harus berlari kesana-kemari.
Sebenarnya, hari ini aku sama sekali tidak datang ke sekolah maupun les, hal ini karena Dita, teman sekelasku mengajak aku ikut dengannya hunting gambar untuk lomba photography di salah satu surat kabar. Aku yang kebetulan menyukai aliran fotonya, street photography, tak menolak ketika ia mengajakku ikut berkeliling Jakarta-Bogor untuk mendapatkan objek yang menarik. Kami pindah dari satu angkutan umum satu ke angkutan umum lain, berjalan kesana-kemari, duduk-duduk di trotoar jalan sambil makan seadanya, dengan kamera yang tergantung di leher kami. Jujur, aku tak begitu mahir perihal menggunakan kamera. bahkan kamera yang ku bawa tak lain milik Rumi, yang sengaja ku pinjam dengan alasan untuk tugas wawancara mata pelajaran bahasa indonesia, hal yang dengan mudah di iyakan kak Rumi tanpa sedikitpun curiga.
Aku melirik Rumi, ia sudah kembali diam di balik kemudinya, sementara itu mataku sibuk menyapu jalan yang kami lalui, menyaksikan tenda-tenda para pedagang yang sudah mulai sepi dari pembeli, penjual sate yang tengah membuat pesanan dengan seorang laki-laki yang duduk di kursi plastic menunggu pesanannya, penjual bubur ayam dengan obrolannya dan para remaja dengan cat semprot ditangan. Aku senang menyaksikan hal-hal di sekelilingku, melihat kesibukan di luar sana, sesuatu yang kadang bisa menghadirkan kenangan tersendiri untukku.
****
Selepas shalat subuh berjamaah kak Rumi langsung pamit ke kamar seperti biasa, sementara itu, aku mendapati diriku mengikuti abi ke ruang baca. aku tahu, aku akan melakukan ini jika ada maunya, karena aku satu-satunya orang di rumah ini yang hampir tak mau berurusan dengan ruang baca yang menurut kak Rumi menenangkan ini.
"ada apa Asya?" Tanya abi ketika tahu aku mengikutinya masuk.
Untuk beberapa waktu aku bergeming di depan pintu, membiarkan mataku melihat sekeliling ruangan di depanku. Tak butuh waktu lama untuk bisa melihat beberapa foto umi yang terpampang di ruang kerja abi, bahkan di dinding terpampang foto keluarga kami. Ada umi, abi, kak Rumi, dan aku yang masih berusia 4 tahun kala itu. Abi berkisah, kalau foto itu di ambil 3 bulan sebelum umi meninggal. Dan foto itu adalah foto terakhir kami bersama, karena 2 minggu setelah itu, umi sakit, hal yang pada akhirnya membuat umi harus di rawat berbulan-bulan sebelum pergi meninggalkan aku dan kak Rumi yang saat itu akan berulang tahun yang ke 16.
"sini masuk" pinta abi mengalihkan perhatianku kembali. Akhirnya aku menurutinya masuk, dan duduk di sofa yang biasanya ditempati kak Rumi ketika membaca naskah-naskah yang harus di editnya.
"ada apa?"
"nggak ada apa-apa, aku cuma kangen aja sama abi" ku lihat abi tersenyum, memperlihatkan kerutan-kerutan di sepuatar matanya yang sedikit kuyu. Ia membuka tangannya lebar siap untuk menerima pelukan dariku, namun aku bergeming membiarkan abi menunggu.
"kesini Aisyah, putri abi yang manja"
Kali ini aku yang tersenyum. Aku yang menghambur ke arah abi dan memeluknya erat. Membiarkan aku di manja sosok laki-laki yang begitu aku dan kak Rumi kasihi, yang rela menua dan menyendiri atas nama cinta. Dan yang mengorbankan hampir seluruh waktunya untuk anak-anak yang begitu ia kasihi tanpa membandingkan mana lebih cakap mana yang tidak, mana lebih mirip sifat siapa mana tidak. Bagi abi, kamilah mutiara berharga yang di milikinya di tengah dahaga tanpa sosok umi yang teramat di kasihinya sepanjang waktu.
"ada apa Aisyah? nggak biasanya kamu mau datang kesini." katanya sambil merenggangkan pelukan. Namun aku hanya bergeming dan justru memeluk abi lebih erat lagi dan enggan melapaskannya. "kamu mau abi belikan apa?"
Aku malu mendengarnya, abi selalu bisa membaca fikiranku dengan begitu mudahnya, tak seperti ketika abi harus dihadapkan dengan kak Rumi.
"apa menurut abi aku cuma datang ke abi kalau lagi butuh sesuatu aja?"
"nggak juga, tapi seringnya putri bungsu abi memang seperti itu" jawabnya sambil tersenyum. "bilang, kamu mau apa?"
"Asya cuma mau minta maaf sama abi…"
"minta maaf untuk apa?" Tanya abi tanpa bisa menyembunyikan raut wajah herannya sementara aku masih diam dan mengeratkan pelukanku kembali.
"ada siapa disini?" kata suara di belakangku. Untuk seketika pandangan abi beralih ke suara itu, sementara aku berusaha untuk menyembunyikan wajahku yang sepertinya sudah memerah di dada abi karena malu harus tertangkap basah berada di ruang baca "ada yang lagi merajuk ya bi?" lanjutnya lagi kali ini aku dapat mendengar langkah kakinya mendekati kami dan tak butuh waktu lama untuk membuatku ingin segera keluar dari zona tak nyaman seperti ini.
"merajuk"? Tanya abi bingung "nggak, adik kamu cuma mau abi yang antar ke stasiun hari ini" kata abi berusaha membelaku. "iya kan Sya?" tanya abi yang langsung aku tanggapi dengan anggukan.
"nggak mungkin, Asya itu pasti minta di beliin handphone baru kan bi"
"handphone baru?" kali ini abi menatapku dengan raut wajah yang aku sendiri tak bisa membacanya.
"aku minta maaf sama abi, soalnya handphone yang di beliin kakak itu nggak sengaja jatuh dan keinjek waktu aku lagi ngejar busway" kataku menjelaskan sambil beringsut duduk ke sisinya.
"begitulah bi kelakuan Aisyah" kata Rumi sambil menjatuhkan tubuhnya di samping abi.
"aku kan nggak sengaja kak" balasku berusaha membela diri, setengah berharap abi akan berpihak padaku untuk ini.
"Nggak sengaja, tiap habis ngelakuin kesalahan apapun selalu bersembunyi di balik kata 'nggak sengaja'"
"kakak pikir aku mau banting handphone aku?"
"Lagi juga ngapain harus lari-lari ngejar busway, kalau ketinggalan ya udah, Busway juga nggak cuma satu kan?"
"Terima kasih sarannya..." Balasku kesal.
"udah...udah.., kok malah pada debat..."
"Habis kak Rumi tuh selalu berusaha cari-cari kesalahan aku"
Mata Rumi membesar mendengar itu "cari-cari kesalahan kamu? Kalau kamu nggak buat masalah ngapain aku cari-cari, nggak penting juga..."
"Tuh kan bi..."
"Apa sih?" kata Rumi dengan nada suaranya yang di buat seolah-olah tersinggung.
"Aisyah, kamu siap-siap ganti pakaian nanti kesiangan..."
"Yaudah sana...sana... Berisik juga disini"
Tak butuh waktu lama untuk aku menyadarinya dan lari keluar dari ruang baca abi menuju kamarku yang ada di lantai 2. Aku sudah paham apa yang harus dilakukan seorang adik agar tak memancing kakaknya untuk bergulat di pagi buta hingga membangunkan tetangga-tetangga.
****
Abi mengantarku tepat di pintu masuk stasiun, sebentar memerhatikanku sebelum akhirnya meninggalkanku yang sudah memasuki area stasiun. aku sudah menceritakan kejadian kemarin pada abi, setidaknya aku tak perlu berbohong pada 2 orang sekaligus. sepanjang perjalanan abi hanya mendengarkan pengakuanku, tak sedikitpun ia berkomentar ketika aku menceritakan tentang handphoneku yang jatuh ketika aku berlari mengejar busway hingga tak sengaja terinjak sebelum akhirnya jatuh ke jalur busway, tentang perjalanan dengan Dita, juga tentang bagaimana reaksi Rumi saat menungguku di stasiun. Aku tak melihat raut marah di wajah abi melainkan senyum yang justru beberapa kali tersungging dari bibirnya. Aku ingat satu hal tentang abi, menurut tante Sarah abi memiliki karakter yang sama dengan Rumi. Jika ada abi dalam wujud perempuan orang itu tentu Rumi, dan jika ada Rumi yang wujudnya laki-laki itulah abi. Dalam beberapa hal aku setuju dengan pendapat tante, namun aku tak sepenuhnya sependapat dengan tante perihal ini, Rumi sama sekali tidak mirip abi untuk urusan yang berhubungan dengan kesabarannya mengurusku karena menurutku Rumi senantiasa meledak-ledak tiap kali dihadapkan dengan kelakuanku.
"Morning sunshine..." suara itu mengagetkanku dari lamunan, sementara sang pemilik suara tengah nyengir lebar di depanku dengan ransel bertengger di depan dadanya dan tangan lain berpegangan pada ring pengangan kereta.
"gimana?" tanyanya tiba-tiba setelah melihat aku menatapnya dari tempat dudukku.
"gaimana? apanya yang gimana?" tanyaku bingung dengan pertanyaannya.
"Kak Rumi marah nggak semalem?"
"Oooh, nggak"
"seriusan?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kaget yang berlebihan "Kak Rumi nggak marah lo nggak masuk sekolah? awesome!!!" kata Dita tanpa bisa menyembunyikan wajah takjubnya.
"gue belom bilang soal itu"
"belom bilang? terus, maksud lo kak Rumi nggak marah itu tentang apa?"
"bukan tentang apa-apa.." kataku yang langsung di potong oleh Dita.
"jangan bilang lo nggak cerita sama kak Rumi? maygattttt!!"
"gue baru cerita ke abi"
"kenapa? takut buat cerita sama kak Rumi?" tanyanya dengan raut wajah yang sedikit meledek, sementara aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar tebakannya yang sepenuhnya benar.
Dita hampir tahu semua hal tentangku, dari mulai hal-hal remeh hingga terbesar. Bahkan, hanya dita teman yang sering kali aku repotkan jika aku bertengkar dengan Rumi, mulai dari ia harus berbagi tempat tidurnya denganku, berbagi pakaian, hingga makan. hal yang membuatku banyak menghabiskan waktu liburan di rumahnya, bahkan pernah sekali aku ikut andil dalam merayakan ulang tahun pernikahan orangtuanya, sesuatu yang mengesankan untukku, terlebih karena keluargaku tidak pernah merayakan hal itu.
Aku melihat Dita tengah sibuk merogoh-rogoh isi tasnya dengan susah payah. Dan tiba-tiba ia menyodorkan sebuah buku tebal ke arahku "Kasih kak Rumi ya..."
"Buku siapa ini?" Tanyaku sambil menerima buku tebal itu dan membaca judul yang tertera di sampul buku tersebut, Motherless Daughters.
"Buku Kak Rumi, waktu itu gue pinjem dari dia"
Aku melihat Dita dengan tidak percaya "Lo baca buku ginian? Yang tebal ini? Nggak bercanda kan?"
Matanya mengerling sebal "sebegitu parahnya kah gue di mata lo?"
"iyaaaa..."
"Okay, you know me so well... Mngh, gue pinjem tuh buku karena nggak sengaja. Sumpah, ini buku udah hampir 2 bulan di rumah gue dan gue belum buka sama sekali sejak hari itu" katanya menjelaskan.
"Kalau kayak gitu baru gue percaya! lo masih Dita yang gue kenal berarti"
"brengsek!"
Sementara kereta yang aku tumpangi terus melaju, aku pun menghabiskan waktu kurang dari 10 menit sebelum kereta berhenti di stasiun tujuanku dengan membaca daftar isi dari buku yang tengah ku pegang, menimbang-nimbang buku ini akan seperti apa di mata rumi saat ia membacanya. Menarik, Rumi membaca buku tentang kisah-kisah perempuan tanpa ibu, begitu kira-kira pikirku pada saat itu.
****
pukul 16.45, ini adalah waktu normalku berada di rumah selepas pulang sekolah, dan di jam-jam seperti ini rumah tidak ada siapa-siapa kecuali aku dan seorang asisten rumah tangga yang akan pulang setibanya aku dari sekolah. Ritmenya seperti ini, setelah aku sampai rumah Bu Santi akan segera menyiapkan makan untukku, lantas memberi tahu jam berapa Rumi dan abi akan pulang, setelahnya Bu Santi akan memberi tahu makanan apa saja yang harus ku hangatkan untuk Rumi dan Abi, menunggu aku menyelesaikan makan, dan setelahnya ia akan pamit. Selalu seperti itu, bagi Bu Santi, Aku masih seperti Aisyah kecil yang di temuinya beberapa tahun lalu.
"aku bisa ambil sendiri Bu" kataku sambil membuka kulkas untuk mengambil air saat Bu Santi buru-buru menyiapkan makan untukku.
"nunggu kamu ngambil sendiri sampai malam juga kamu nggak akan makan Sya" aku tertawa mendapati jawaban Bu Santi, terlebih melihat ia yang dengan gesitnya menata meja makan yang tadinya kosong hingga berisi lauk pauk yang sudah ia masak.
"Aku makannya nanti aja Bu bareng kak Rumi, aku masih kenyang"
Mata bu Santi seketika melotot "Asya mau nunggu sampai selasa sore dulu baru mau makan?"
aku bingung. maksud?
"kakak kan ke luar kota, baliknya baru selasa sore"
"keluar kota?"
"iya, keluar kota" ulang Bu Santi.
"bukannya kakak mau ke makam umi siang tadi?"
"kalau soal itu ibu nggak tahu... tapi ibu juga bingung soalnya handphonennya nggak di bawa Sya, tadi pas ibu beres-beres kamar kakak handphonenya bunyi terus... coba nanti kamu cek, ibu nggak berani liat-liat"
"kakak nggak telphone ke rumah buat nanyain handphonenya ke ibu?" tanyaku penasaran.
"nggak"
kebiasaan! pikirku kesal.
Tinggal aku sendiri di rumah, bu santi sudah pamit sejak ia memastikan bahwa aku memakan makanan yang sudah ia siapkan. sekarang hanya aku sendiri berbaring di kamar Rumi yang penuh dengan buku. di meja kecil samping tempat tidurnya ada buku yang sepertinya belum selesai ia baca, di cover depannya tertulis Elizabeth Bishop Complete Poems. Aku membaca salah satu puisi karya Bishop, namun baru sebentar membacanya aku langsung meletakkannya kembali ke meja dan memilih untuk berbaring di tempat tidurnya.
Aku jarang masuk ke kamar Rumi jika tidak seperti ini, hal ini karena aku menyadari bahwa Rumi menjadikan kamarnya sebagai ruang yang penuh dengan privasi, dan aku menghargai privasinya. Aku menghargai setiap inci rahasia terdalam dari lapisan inti dirinya. Rumi memang penuh dengan rahasia, aku ingat ketika ia merahasiakan bahwa ia menolak tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan masternya di University Of New South Wales beberapa tahun lalu dan justru memilih melanjutkannya di salah satu universitas negeri di Jakarta. Aku ingat betapa abi begitu menyayangkan keputusannya itu, namun seperti halnya aku yang cukup mengenal Rumi, abi juga mengerti bahwa keputusan Rumi tidak bisa untuk di ganggu gugat. Alhasil, kami hanya bisa menyaksikan bahwa Rumi lebih memilih untuk tinggal, dan memilih untuk bekerja sebagai editor juga translator di salah satu penerbit.
Aku menarik nafas panjang, melihat sekeliling kamar Rumi yang tertata rapi meski di penuhi buku-buku. Jelas tidak seperti kamarku yang berantakan, yang disana-sini penuh dengan sketsa-sketsa wajah yang tak pernah selesai ku lukis, coretan-coretan puisi di mading besar di sisi kanan kamarku, juga tumpukkan novel romansa yang sengaja aku beli baik di toko buku, di kios-kios di blok m, maupun di big wolf yang tiap tahun di adakan. Sementara koleksi buku Rumi, ah hampir semua koleksi Rumi membuatku malas untuk membaca. Pernah aku meminjamnya, tapi itu hanya untuk mengutip puisi-puisi dari penyair terkenal untuk di posting di jejaring sosial, mengetahui itu Rumi langsung menceramahiku panjang lebar. Aku selalu tersenyum tiap kali mengingat ada banyak hal yang berbeda antara aku dan Rumi, terlebih dari hal selera dalam membaca, dia begitu menyukai karya-karya klasik seperti tulisan Jane Austen, F Scott Fitzgerald, Hemingway, James Patterson, Kafka, dan penulis-penulis yang tidak aku tahu, sementara aku? Aku lebih menyukai karya tulisan kontemporer. Tapi untuk masalah tontonan, aku dan Rumi punya selera yang sama, bahkan kami sering menghabiskan liburan untuk menonton koleksi filmku yang menurut Rumi bagus, adakalanya kami keluar untuk menonton film berdua namun itu tidak sering bahkan dalam satu tahun tak sampai 5x kami bisa memiliki waktu untuk keluar menonton film berdua.
Mataku tertuju pada handphone yang tergeletak di atas meja kecil di samping buku puisi Bishop, dari tempat tidur aku mencoba meraih handphone itu dengan tangan kiriku, dan.... dapat! Satu hal yang paling aku suka dari Rumi, dia bukan tipikal orang yang menggunakan password pada handphone, laptop, komputer, atau barang elektronik apapun yang memerlukan itu. Aku membuka layar utama dan mambuka galeri foto disana, hampir semuanya adalah foto pemandangan alam, fotonya bersama teman-teman kuliahnya yang hampir semuanya aku kenal, foto bersama teman kantornya, foto kami bertiga, dan, yeah, tidak ada satupun foto dia dengan seorang laki-laki yang mengindikasikan bahwa dia punya hubungan. Rumi masih sendiri? Bosan melihat fotonya aku pun beralih ke akun Whatsapp, mencari satu per satu orang yang sering chatting dengan Rumi, tak ada. Hampir semua teman yang sering chatting dengannya bisa di hitung jari dan sayangnya aku juga mengenal mereka dengan baik, karena seringnya mereka datang ke rumah. Aku menaruh handphone Rumi di tempatnya semula setelah melihat-lihat isi handphonenya, tidak ada yang menarik disana. Alhasil, aku hanya tidur-tiduran sambil di temani musik folk dari handphone Rumi.
Aku yakin aku akan tertidur pulas di kamar Rumi kalau bukan ingatan tentang kejadian di kereta tadi pagi menyadarkanku tentang tujuan awal aku berada di kamar Rumi, buku. Aku membuka kembali buku itu, berusaha untuk mengetahui penulisnya di halaman belakang buku itu, membaca biografi singkatnya dan setelah itu kepalaku di penuhi rasa ingin tahu yang begitu besar, mengapa Rumi membaca buku seperti ini? Apa ia ingin menemukan kesamaan kisah dari para pembaca atau penulis? aku kembali ke halaman depan buku tersebut, dimana terdapat surat-surat yang dikirimkan pembaca kepada sang penulis, yang mana isi dari surat itu menceritakan tentang perasaan mereka yang kehilangan ibu, tentang bagaimana mereka mampu melalui hari tanpa figure penting ibu dalam tumbuh kembang mereka. Dari cerita itu aku dapat menemukan kesedihan, kekuatan, juga rasa yang mungkin sama.
Apa Rumi kesepian?
Seketika aku menutup buku yang tengah ku pegang, menaruhnya begitu saja di meja bersama buku kumpulan puisi Elisabeth Bishop. Sementara itu perhatianku tertuju pada meja kerja Rumi. Aku melihat meja itu, meja yang masih tetap sama, tata letak yang juga sama. Tak ada yang dia rubah. Diatas meja itu bertengger 1 komputer keluaran amerika, di ujung meja 3 buku tertata rapi; 1 buku kumpulan cerpen dari penulis wanita bernama Jhumpa Lahiri, dan 2 novel lumayan tebal dari Elif Shafak. Benar-benar Rumi, pikirku. Perhatianku lantas beralih untuk membuka 2 laci kecil di bawah meja itu, di laci pertama aku melihat dua naskah novel disana, setelah mengambilnya dan membolak-balik sekilas aku pun mengembalikannya lagi ke tempat semula. Lantas kembali ke laci sebelah kiri, ada banyak kertas-kertas disana. Dan, yeah, aku menemukan sesuatu yang tengah aku cari. Buku Harian.
Rumi begitu suka kegiatan menulis buku harian, sesuatu yang baru aku sadari ketika aku duduk di bangku SMP saat menemukan buku harian Rumi diantara buku-bukunya. Waktu itu aku hampir membaca semua buku itu saat tiba-tiba Rumi masuk ke kamar dan mendapati aku tengah asyik membaca buku hariannya. Rumi yang melihat aku membaca buku hariannya tanpa izin seketika meledak, ia menarik aku keluar dari kamar dan membanting pintu. Setelah kejadian itu, kami saling tidak bicara hampir 1 minggu dan mungkin akan terus berlanjut kalau saja Abi masih tugas di luar kota.
****
Dengan tersenyum puas akupun membuka buku harian itu, membaca tiap laman dengan penuh semangat dan rasa ingin tahu. Di lembar pertama buku harian itu Rumi menulis tentang seorang wanita yang ia temui di halte busway, wanita yang berbicara dengannya tentang anak laki-lakinya yang meninggal karena kanker. Dalam tulisan itu, aku bisa melihat simpati rumi yang begitu dalam kepada sosok wanita dalam ceritanya. Dilembar berikutnya, Rumi bercerita tentang Pak Hasan, sopir pribadi abi. Di catatan itu, Rumi menulis tentang bagaimana laki-laki itu dimatanya, tentang bagaimana selama ini ia tak banyak tahu tentang kehidupan Pak Hasan yang hampir 9 tahun ini menjadi bagian dalam keluarga kami. Laki-laki yang lebih banyak waktunya berada disini daripada dengan keluarganya yang jauh di kampung. Ia yang seringkali di mintai tolong untuk mengantar Rumi ke bandara meski hampir tengah malam. Membaca itu membuat aku mengingat-ingat kapan terakhir aku dan Rumi berada dalam satu mobil yang sama dengan Pak Hasan? Entahlah, mungkin beberapa minggu lalu saat pergi ke pernikahan anak dari kolega abi. Ah, ya, benar. Karena sepulang dari sana aku dan Rumi bertengkar di mobil lantaran aku memasukkan permen karet bekas ke dalam tas tangannya.
Setelah membaca ungkapan hatinya tentang Pak Hassan akupun membuka lembar lain tapi tak ada tulisan lain disana. Buku ini masih baru. Aku membaliknya lagi dan melihat tanggal yang tertera di tulisan terakhirnya tentang Pak Hassan, sudah hampir 3 bulan lalu. Dan...
Dimana Rumi menyimpan buku-buku hariannya yang lama?
Dimana Rumi menyimpan buku-buku hariannya yang lama?
Aku melongok ke laci itu, tak ada lagi buku harian. Yang ada hanya kertas-kertas penuh tulisan, esai-esai yang ia tulis, puisi-puisi dengan bahasa super berat, dan... Tidak ada.
Apa tidak ada satu rahasia pun yang Rumi sembunyikan di kamarnya yang begitu nyaman ini? sesuatu yang mungkin ia sembunyikan di balik meja kerjanya atau di catatan-catatan yang ia tulis dan menggambarkan kesedihannya. Atau... Mataku tertuju pada komputer di meja Rumi, Komputer yang setiap sisinya di penuhi notes yang isinya kutipan dari penulis-penulis yang satupun bukunya belum pernah aku baca. Dengan senyum mengembang akupun menekan tombol power yang ada di bagian belakang komputer hingga komputer itu menyala. Tak butuh waktu lama untuk berselancar ke dalam folder kerja Rumi, lantas membuka satu persatu folder. Untuk beberapa saat aku cukup mengagumi sosok Rumi, tak hanya kamar maupun bukunya yang tertata rapi, folder-folder di komputernya pun begitu rapi. Dan yang menarik dari itu semua, ia menamai folder-folder itu dengan nama penulis-penulis klasik idolanya, seperti folder untuk kumpulan naskah yang di editnya dia menamai dengan nama Anton Chekov, folder yang berisi tulisannya dengan nama Jane Austen, dan masih ada 9 folder lagi dengan nama-nama penulis-penulis terkenal itu.
Aku memutuskan untuk membuka folder Jane Austen setelah terpaku pada folder Kafka yang isinya hasil revisi naskah, dan mengarahkan krusor pada judul-judul yang cukup menarik dan membuka satu demi satu file disana, membacanya, dan hanyut oleh setiap kata yang Rumi tuangkan.
Tak lama setelahnya bibirku menyunggingkan senyuman, karena folder ini merupakan salinan dari diary Rumi. Ya, Rumi menuliskan dengan rinci dalam bentuk cerita pendek, namun aku tahu benar kisah itu adalah pengalaman pribadi Rumi karena beberapa dari tulisan yang aku baca sempat di ceritakan Rumi, atau terjadi saat Rumi bersamaku.
Ya Tuhan, aku menemukannya!
Senyum masih tersungging di bibirku, menarikku membaca setiap judul disana. Sampai akhirnya krusor yang ku pegang tertuju pada tulisan 'Tanpa Judul', Aku membacanya dengan suka cita, terbawa.., Dan......., Senyum di bibirku pun perlahan menghilang....
........... Pada akhirnya Umi membumi di suatu pagi yang cerah di awal bulan juli, ia kembali bersatu dengan ibu pertiwi setelah hari-hari yang kami lalui tanpa sekalipun meninggalkannya. Sakitnya umi menjadi hal yang tidak mudah untuk keluarga kami, bahkan untuk adikku sekalipun, Aisyah, yang pada saat itu masih berusia 4 tahun. Aisyah tidak tahu apapun yang tengah terjadi pada Umi, yang Aisyah tahu Umi hanya tengah tidur di suatu tempat tak jauh dari tempat ia bersekolah dan yang sewaktu-waktu bisa dia kunjungi bersama tante.
Aisyah yang biasanya pulang sekolah di jemput Umi kini harus dijemput oleh Tante Sarah, adik Umi. Setelahnya tante akan membawanya ke rumah sakit untuk melihat perkembangan Umi satu atau dua jam, hingga akhirnya hal itu menjadi sebuah rutinitas keluarga kami selama lebih dari 2 bulan. Awalnya Abi tidak mengizinkan Aisyah datang tiap hari ke rumah sakit, namun tante Sarah bersikeras bahwa dengan di kelilingi orang-orang terkasihnya bisa menjadi terapi agar Umi bisa sadar dari koma, dan saya sepenuhnya mendukung tante untuk hal itu. Sering saya bercerita pada Umi tentang kegiatan di sekolah, tentang ulah yang dibuat Aisyah di rumah, juga tentang Abi. Diluaar itu saya menceritakan semua hal pada umi, saya menceritakan tentang cuaca di luar dan mendeskripsikannya dengan jelas, membacakannya cerpen dari Anton Chekov, dan, yah, kadang saya menangis saat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan jika umi terus-terusan seperti itu.
Ada moment Umi merespon itu dengan menggerak-gerakan tangannya saat saya bercerita, bahkan pernah umi merespon dengan menangis, itu terjadi di minggu-minggu pertama umi di rawat di rumah sakit, saat tante Sarah memutuskan membawa Aisyah yang terus-terusan menangis memanggil-manggil umi ke Rumah Sakit agar bisa melihat umi. Disana, Aisyah menangis di dada Umi, memintanya untuk bangun. Saya selalu ingin menangis jika ingat moment itu, dimana Aisyah tak benar-benar tahu apa yang terjadi dengan umi bahkan seberapapun usahanya untuk membangunkan umi, umi tak akan bangun.
Saya ingat ketika tante Sarah mengajak Aisyah untuk pulang setelah hampir 1 jam disana, namun yang di lakukan Aisyah justru menarik-narik tangan umi dan memintanya untuk bangun dan ikut pulang bersama kami, dan di saat itulah saya melihat air mata umi mengalir di pipinya yang pucat. Umi menangis. Saya pikir, hanya hati saya yang sakit melihat Aisyah seperti itu ternyata umi juga merasakan hal yang sama. Buktinya Air mata itu terus mengalir meski mata umi terpejam. Tante Sarah yang melihat itu seketika mengusap air mata di pipi umi dengan tangannya seraya menahan air matanya sendiri untuk tidak menangis. Tante tak mengucapkan apa-apa selain mencium umi dan lantas meraih Aisyah ke dalam pelukannya dan membawanya keluar dari ruangan Umi tanpa memedulikan Aisyah yang terus meronta-ronta. Dan setelah kejadian itu saya menjadi semakin sering bercerita pada umi, berusaha untuk mengantarkan kehidupan untuk umi, berusaha untuk melihat reaksinya sekecil apapun. Namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Tidak pernah.
Sampai akhirnya suatu malam telepon rumah berbunyi, tante Sarah yang mengangkatnya. Itu telepon dari Om Ibrahim, kakak Umi. Om menelepon untuk mengabarkan keadaan umi dan meminta tante Sarah dan aku untuk datang. Tante sarah sudah bisa menduga apa yang terjadi pada umi meski Om tidak memberi tahukan hal itu kepadanya, hal itu bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang kaku dan terpaku pada gagang telepone yang ia pegang, tak lama tante Sarah meletakkan gagang telepon itu dengan kasar, lantas mengambil kunci mobil dan menarik saya yang saat itu tengah menonton televisi untuk ikut dengannya ke rumah sakit, sepanjang perjalanan tante Sarah tidak bicara apapun, tidak memberi tahu apapun selain bagaimana ia terus berkonsentrasi penuh ke jalan untuk mendahului setiap kendaraan di depan kami.
Tak sampai 30 menit saya dan tante Sarah sudah tiba di rumah sakit, langkah kaki tante sarah yang cepat membuat saya mengikutinya dengan setengah berlari. Malam itu, saya benar-benar tidak tahu apa yang tengah terjadi sampai akhirnya saya tiba di ruang rawat umi dan terjawablah semua. Saya ingat dengan jelas suasana setibanya kami di ruang rawat umi, hampir seluruh keluarga inti kami sudah berkumpul bahkan bisa dikatakan saya dan tante Sarah adalah yang terakhir tiba di rumah sakit. Pada saat itu mataku tertuju pada umi, lantas ke abi yang tengah berdiri di samping Umi. Saya kembali melihat umi, saat itu saya sadar bahwa alat-alat kedokteran yang selama 2 bulan ini tak pernah di lepas dari tubuh umi hari itu sudah tidak ada lagi, semuanya sudah di copot. Hanya ada umi yang seperti biasa malam itu, umi yang "tertidur pulas". namun kali ini umi tenggelam bersama tidur panjangnya tanpa harapan bahwa umi akan bangun. Tidak akan pernah bangun, bahkan sekedar untuk membalas ciuman saya.
Hari itu bukan akhir kesedihan, melainkan sebuah awal dari yang namanya proses pendewasaan, hal yang di mulai dengan kehilangan figure penting dalam kehidupan. Bagi seorang remaja putri sulit untuk menerima kenyataan seperti ini, karena dalam prosesnya sosok ibu merupakan peran penting dalam kehidupan anak perempuannya, ibu adalah teladan yang akan ditirunya dalam membangun kehidupan. Seorang wanita akan belajar dari wanita lain dalam membangun kehidupan dan dalam ini mereka belajar dari sosok ibu mereka. Lantas bagaiamana dengan saya? Bagaimana dengan Aisyah? Siapa yang akan mengajari saya untuk memasak? Siapa yang akan membantu saya mengurus pernikahan? Dan siapa yang akan mendampingi saya saat saat saya melahirkan anak pertama? Saya terus bertanya-tanya tentang itu saat bulan demi bulan kehilangan umi semakin terasa. Namun adakalanya saya merasa jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan Aisyah, karena ia harus ditinggal umi di usianya yang baru 4 tahun, ia bahkan tak tahu persis apa yang terjadi pada umi. Bahkan saya tidak yakin Aisyah punya kenangan dengan umi seperti yang saya miliki.
"Abi, kemarin aku bilang sama bu guru kalau umi aku meninggal, tapi aku nggak tahu meninggal itu apa. terus aku tanya ibu guru, kata ibu guru kalau meninggal itu artinya umi ada di tempat yang jauh dan umi bisa lihat apapun yang aku lakuin, apa itu benar?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Aisyah saat abi tengah memakaikan sepatu sekolah untuknya, abi hanya mengangguk untuk itu. "tapi kalau kata Okta, temen aku yang paling pinter dikelas, meninggal itu artinya aku nggak punya umi lagi. Meninggal itu artinya aku nggak bisa lihat umi lagi" saya yang saat itu tengah memerhatikan adegan itu tak kuasa merasa sedih, hati saya terasa diremas begitu kuat. Dan abi, ia diam tanpa berkata apa-apa kecuali senyum yang ia usahakan untuk Aisyah. Saya ingat hari itu, 1 bulan setelah kepergian umi. 1 bulan yang terasa sangat berat dan saya tidak pernah tahu hari-hari kedepan apakah akan semakin berat atau tidak. Tapi yang jelas, kedepannya akan lebih sulit dari ini. Karena semakin lama rasa itu justru semakin tumbuh, dan Aisyah, dia akan terus bertanya tentang umi.
Tapi dugaan saya salah, seiring pertumbuhan Aisyah, ia jarang membahas tentang umi. Tidak seperti tahun-tahun pertama kepergian Umi dimana ia terus bertanya apa itu meninggal, seperti apa rasanya, apakah Aisyah juga akan meninggal, dan hal-hal yang tidak bisa saya jawab. Namun sekarang ia cendrung tak pernah membahas itu, bahkan Aisyah secara terang-terangan tidak pernah mau membahas tentang Umi, dan hal itu di tunjukan dengan ia yang tidak pernah mau masuk ke dalam ruang baca, tempat dimana foto besar keluarga kami bertengger di dinding utama ruang baca.
"Aku merasa kayak lagi di perhatiin sama umi" begitu katanya saat saya berusaha bertanya perihal keengganannya untuk masuk kesana.
Awalnya saya berpikir bahwa Aisyah akan tumbuh seperti itu, dengan tidak menginginkan kenangan umi hadir dalam hidupnya, hal yang sepenuhnya membuat saya merasa bersalah karena tak pernah berbagi perasaan saya tentang umi pada Aisyah. Namun dugaan saya sepenuhnya salah, Aisyah tidak seperti yang saya pikirkan, karena di balik peringainya yang berusaha untuk bersikap biasa, ia tetap Aisyah yang butuh umi, Itu yang saya lihat saat tanpa sengaja mendapati ia berada di makam umi di hari ibu. Saya mengira bahwa Aisyah hanya ingin berkunjung di hari ibu, sampai akhirnya saya mendengar pengakuan penjaga makam yang mengatakan bahwa hampir setiap jumat sore Aisyah datang dengan masih berseragam sekolah, biasanya Aisyah akan duduk di samping makam umi untuk waktu yang lumayan lama sebelum akhirnya pergi.
Saya paham bahwa Aisyah punya cara sendiri untuk itu, dan di usianya sekarang, dia punya cara sendiri untuk menunjukkannya.
Aku menyeka air mata yang terus mengalir mendapati penuturan singkat Rumi. Ya, Rumi benar, aku tidak tahu apa-apa, aku bahkan tidak memiliki ingatan yang baik tentang umi. Aku hanya mengetahui umi dari cerita-cerita yang disampaikan oleh abi, tante Sarah, ataupun keluarga kami yang lain di waktu-waktu tertentu. Selebihnya aku tak pernah mendengar tentang umi, selain melihat foto-foto lama. Aku tahu mereka akan menjawab pertanyaanku tentang umi jika aku bertanya tentangnya meski aku tahu mereka harus menelan kepahitan saat menceritakan tentang orang yang begitu mereka kasihi, tapi seperti yang Rumi tahu aku tidak pernah melakukan itu. Aku tak ingin menyinggung perasaan mereka meski di lubuk hati terdalam, aku juga ingin mengenal umi seperti Rumi mengenalnya. Mungkin jika aku bisa mengatakan yang sejujurnya pada abi ataupun Rumi, aku ingin mengatakan bahwa aku ingin mengenal umi, aku ingin kasih sayang umi.
Perhatianku seketika teralihkan saat aku mendengar suara klakson mobil di depan, aku pun bangkit dari duduk dan berjalan ke jendela untuk melihat keluar. Abi sudah pulang. Tanpa aba-aba aku pun lantas berjalan kembali ke meja kerja Rumi, melihat jam di komputer, lari ke kamar mandi untuk mencuci muka, berjalan keluar kamar rumi dan menuruni anak tangga untuk menyiapkan makan malam untuk abi.