Saturday, April 20, 2019

Rumi (16/100)

Gambar dari google
Suasana pelataran stasiun sudah mulai sepi dari para penjual makanan yang biasanya menjajakan dagangannya di pinggir-pinggir trotoar menuju pintu masuk stasiun, bahkan trotoar yang biasanya di penuhi para pejalan kaki yang berjalan saling mendahului kini tampak begitu lengang, berbanding terbalik dengan suasana jalan protokol disampingku yang masih cukup ramai. Aku berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju stasiun, berusaha untuk tak berlama-lama berada di luar sendiri, meski kenyataannya aku tak pernah merasa sendiri, setidaknya itu yang ku rasakan. Namun, berada di luar tanpanya membuatku sedikit khawatir kalau-kalau ia mencemaskanku dan akhirnya memarahiku karena aku teramat telat menemuinya.

Aku melihat ia berdiri seraya terus memerhatikanku yang berada di escalator yang terus bergerak turun, seketika mata kami bertemu, ku lihat ia menarik nafas dalam dan melepaskannya seraya menggeleng lemah. Hatiku tersenyum menyaksikannya menatapku dengan begitu khawatir, karena ia selalu seperti itu setiap kali aku telat menemuinya dan tanpa kabar. Entah apa yang pernah di alaminya sehingga ia memiliki tingkat kekhawatiran yang teramat terahadapku.

"kamu  darimana aja sih? Kamu udah keluar les dari jam 8 lho. Sekarang udah jam berapa? Handphone kamu kenapa mati? Aku kan udah bilang handphone jangan sampai lowbat. Kalau kamu kenapa-kenapa siapa coba yang bisa dihubungi?" kata-kata itu langsung memberondong keluar dari mulutnya ketika aku sudah berada tepat di depannya. Raut wajah khawatir itu nampak jelas, bahkan seperti yang aku tahu ia tak pernah bisa menyembunyikan raut itu dariku.

"aku habis makan sama teman-teman les" kataku pelan, berusaha untuk semeyakinkan mungkin sementara itu ku lihat ia menarik nafas dengan wajah yang masih menahan kesal.

"apa harus matiin handphone?" aku terdiam mendapati pertanyaan ini, aku tak ingin menjawab. Aku tak ingin menjawab.

Aku diam.

"Asya, kakak Tanya kamu, apa harus matiin handphone?" kali ini nadanya terdengar begitu galak, dan aku bisa melihat matanya menatapku lurus tanpa berkedip. Berusaha untuk mendapat jawaban yang diinginkan secepatnya.

"handphone aku jatuh tadi siang, terus nggak sengaja ke injek…" kataku tak berani menatap mata bulatnya.

"ke injek?"

Aku mengangguk lemah.

 "Terus...?"

"Handphonenya rusak"

ia diam.

"aku minta maaf, aku bener-bener nggak sengaja kak"

ia memalingkan wajahnya ke arah lain, menarik nafasnya panjang dan kembali melihatku namun dengan emosi yang sedikit tertahan. "oke, mana sini handphonenya"

Buru-buru aku merogoh tasku, mencari-cari handphone yang tadi siang tak sengaja terinjak lantas memberikannya pada Rumi.

"Oh My God"  matanya kembali menatapku dengan tatapan yang sangat galak bahkan ini bisa dikatakan lebih galak. Aku menunduk takut melihat tatapan itu. Aku takut mendengar kata-kata  yang akan keluar dari mulutnya setelah ini, ya Tuhan, semoga ia tak memarahiku karena ini. 

"kamu kok ceroboh banget sih Sya"

Aku diam.

"aku nggak tahu harus ngomong apalagi ke kamu"

Aku masih bergeming, tak berani untuk membalasnya. Matanya masih terpaku pada layar handphone yang retak parah dan mati total itu. Beruntunglah tak berapa lama kereta yang akan kami tumpangi tiba. Di sepanjang jalan ia sibuk berbicara di telepon dengan seseorang sehingga tak membahas perihal handphoneku. Meskipun begitu, aku masih bisa merasakan mata tajamnya sesekali memerhatikanku sebentar lantas kembali lagi dengan lawan bicaranya.

Tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaan aku tersenyum mendapati situasi ini, setidaknya untuk saat ini ia tak akan membuatku malu di depan para penumpang di gerbong yang kami tumpangi. Masalah di perjalanan menjelang pulang nanti, lebih baik aku diam saja mendengarkan dia berbicara, toh Rumi tak suka kalau aku terlalu membela diri karena kesalahan yang ku buat sendiri. 

****

Jalan menuju rumah sudah begitu lengang, terlebih jam telah menunjukkan angka 11.27 malam, dan Rumi, ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tak terlalu kencang, terlebih memang ia selalu seperti  itu. Sementara itu dari radio mobil, mengalun dengan begitu syahdu lagu-lagu dari Rumer yang membuatku tak kuasa ingin cepat-cepat tertidur.

heroes win
but sometimes they fail
some people cant believe it
but i need you human anyway
nothing less
i want my stars to fall to earth
its where we love, its where we hurt 

"besok kamu sekolah?" Tanya Rumi memecah keheningan di antara kami.

"iya" kataku mencoba untuk bersikap se datar mungkin.

"besok abi sama aku mau ke makam umi, kalau kamu mau ikut, kita bisa sekalian jemput kamu di sekolah" jelasnya tanpa sedikitpun menoleh.

"nggak usah"

"kenapa?" Tanya nya sambil menoleh sekilas.

"nggak apa-apa"

cause i believe in you.. i believe in you..
you make it better...
you keep on coming through
so much i dont believe it
but i believe in you

astaga, lagu ini benar-benar mendukung untuk tertidur, kalau saja Rumi tidak sedang dalam keadaan kesal mungkin aku sudah bebaskan diriku dengan tidur dan membiarkan dia menikmati kesendiriannya ditemani lagu-lagu favoritnya ini. seandainya...

"aku minta maaf" katanya, setelah sekian lama hanya diam di balik kemudi. Mau tak mau aku menoleh menatapnya yang masih menatap lurus ke depan, melihat raut wajahnya yang begitu ku kasihi karena kelembutan juga kekerasannya. Sosok wanita yang hari-harinya bergelut tak hanya dengan urusan pribadinya, melainkan kehidupanku yang juga menjadi tanggung jawab yang harus di embannya.

"buat apa?"

"marah-marahin kamu" balasnya sambil melempar senyumnya yang lelah "aku udah capek banget nunggu kamu dari jam setengah 8, dan sampe jam setengah 10 kamu masih belum juga muncul. Di hubungi nggak bisa, siapa coba yang nggak khawatir" ku lihat senyum lemah itu dibibirnya, tersembunyi di balik lemah suaranya.

Hatiku tersenyum mendengar pengakuannya. Ia memang selalu seperti itu, menakutkan. Tapi di balik sikap dingin serta kerasnya, ia tetap menjadi malaikat untukku, yang selalu menjagaku, menyayangiku dengan begitu tulus, yang selalu mengutamakanku dari pada keperluannya, bahkan ia rela untuk menggantikan posisi umi karena tak ingin aku kehilangan figure seorang ibu saat tumbuh dewasa. Aku sempat menangis ketika tante  sarah mengatakan bahwa Rumi sama sekali tak pernah memikirkan kehidupannya sendiri hanya karena akulah yang menjadi prioritasnya, bukan karirnya, pendidikannya, atau masa depannya, melainkan aku. Pernyataan yang membuatku berjanji pada diri sendiri, agar aku tak pernah menyakiti hatinya. Janji yang entah berapa kali ku langgar.

"aku sih udah biasa terima omelan kakak, udah kebal" jawabku asal, mendengar itu ia tersenyum ke arahku dan mengacak-acak rambutku yang sedikit lengket karena seharian harus berlari kesana-kemari.

Sebenarnya, hari ini aku sama sekali tidak datang ke sekolah maupun les, hal ini karena Dita, teman sekelasku mengajak aku ikut dengannya hunting gambar untuk lomba photography di salah satu surat kabar. Aku yang kebetulan menyukai aliran fotonya, street photography, tak menolak ketika ia mengajakku ikut berkeliling Jakarta-Bogor untuk mendapatkan objek yang menarik. Kami pindah dari satu angkutan umum satu ke angkutan umum lain, berjalan kesana-kemari, duduk-duduk di trotoar jalan sambil makan seadanya, dengan kamera yang tergantung di leher kami. Jujur, aku tak begitu mahir perihal menggunakan kamera. bahkan kamera yang ku bawa tak lain milik Rumi, yang sengaja ku pinjam dengan alasan untuk tugas wawancara mata pelajaran bahasa indonesia, hal yang dengan mudah di iyakan kak Rumi tanpa sedikitpun curiga.

Aku melirik Rumi, ia sudah kembali diam di balik kemudinya, sementara itu mataku sibuk menyapu jalan yang kami lalui, menyaksikan tenda-tenda para pedagang yang sudah mulai sepi dari pembeli, penjual sate yang tengah membuat pesanan dengan seorang laki-laki yang duduk di kursi plastic menunggu pesanannya, penjual bubur ayam dengan obrolannya dan para remaja dengan cat semprot ditangan. Aku senang menyaksikan hal-hal di sekelilingku, melihat kesibukan di luar sana, sesuatu yang kadang bisa menghadirkan kenangan tersendiri untukku.

****
Selepas shalat subuh berjamaah kak Rumi langsung pamit ke kamar seperti biasa, sementara itu, aku mendapati diriku mengikuti abi ke ruang baca. aku tahu, aku akan melakukan ini jika ada maunya, karena aku satu-satunya orang di rumah ini yang hampir tak mau berurusan dengan ruang baca yang menurut kak Rumi menenangkan ini.

"ada apa Asya?" Tanya abi ketika tahu aku mengikutinya masuk.

Untuk beberapa waktu aku bergeming di depan pintu, membiarkan mataku melihat sekeliling ruangan di depanku. Tak butuh waktu lama untuk bisa melihat beberapa foto umi yang terpampang di ruang kerja abi, bahkan di dinding terpampang foto keluarga kami. Ada umi, abi, kak Rumi, dan aku yang masih berusia 4 tahun kala itu. Abi berkisah, kalau foto itu di ambil 3 bulan sebelum umi meninggal. Dan foto itu adalah foto terakhir kami bersama, karena 2 minggu setelah itu, umi sakit, hal yang pada akhirnya membuat umi harus di rawat berbulan-bulan sebelum pergi meninggalkan aku dan kak Rumi yang saat itu akan berulang tahun yang ke 16.

"sini masuk" pinta abi mengalihkan perhatianku kembali. Akhirnya aku menurutinya masuk, dan duduk di sofa yang biasanya ditempati kak Rumi ketika membaca naskah-naskah yang harus di editnya.

"ada apa?"

"nggak ada apa-apa, aku cuma kangen aja sama abi" ku lihat abi tersenyum, memperlihatkan kerutan-kerutan di sepuatar matanya yang sedikit kuyu. Ia membuka tangannya lebar siap untuk menerima pelukan dariku, namun aku bergeming membiarkan abi menunggu.

"kesini Aisyah, putri abi yang manja"

Kali ini aku yang tersenyum. Aku yang menghambur ke arah abi dan memeluknya erat. Membiarkan aku di manja sosok laki-laki yang begitu aku dan kak Rumi kasihi, yang rela menua dan menyendiri atas nama cinta. Dan yang mengorbankan hampir seluruh waktunya untuk anak-anak yang begitu ia kasihi tanpa membandingkan mana lebih cakap mana yang tidak, mana lebih mirip sifat siapa mana tidak. Bagi abi, kamilah mutiara berharga yang di milikinya di tengah dahaga tanpa sosok umi yang teramat di kasihinya sepanjang waktu.

"ada apa Aisyah? nggak biasanya kamu mau datang kesini." katanya sambil merenggangkan pelukan. Namun aku hanya bergeming dan justru memeluk abi lebih erat lagi dan enggan melapaskannya. "kamu mau abi belikan apa?"

Aku malu mendengarnya, abi selalu bisa membaca fikiranku dengan begitu mudahnya, tak seperti ketika abi harus dihadapkan dengan kak Rumi.

"apa menurut abi aku cuma datang ke abi kalau lagi butuh sesuatu aja?"

"nggak juga, tapi seringnya putri bungsu abi memang seperti itu" jawabnya sambil tersenyum. "bilang, kamu mau apa?"

"Asya cuma mau minta maaf sama abi…"

"minta maaf untuk apa?" Tanya abi tanpa bisa menyembunyikan raut wajah herannya sementara aku masih diam dan mengeratkan pelukanku kembali.

"ada siapa disini?" kata suara di belakangku. Untuk seketika pandangan abi beralih ke suara itu, sementara aku berusaha untuk menyembunyikan wajahku yang sepertinya sudah memerah di dada abi  karena malu harus tertangkap basah berada di ruang baca "ada yang lagi merajuk ya bi?" lanjutnya lagi kali ini aku dapat mendengar langkah kakinya mendekati kami dan tak butuh waktu lama untuk membuatku ingin segera keluar dari zona tak nyaman seperti ini.

"merajuk"? Tanya abi bingung "nggak, adik kamu cuma mau abi yang antar ke stasiun hari ini" kata abi berusaha membelaku. "iya kan Sya?" tanya abi yang langsung aku tanggapi dengan anggukan.

"nggak mungkin, Asya itu pasti minta di beliin handphone baru kan bi"

"handphone baru?" kali ini abi menatapku dengan raut wajah yang aku sendiri tak bisa membacanya.

"aku minta maaf sama abi, soalnya handphone yang di beliin kakak itu nggak sengaja jatuh dan keinjek waktu aku lagi ngejar busway" kataku menjelaskan sambil beringsut duduk ke sisinya.

"begitulah bi kelakuan Aisyah" kata Rumi sambil menjatuhkan tubuhnya di samping abi.

"aku kan nggak sengaja kak" balasku berusaha membela diri, setengah berharap abi akan berpihak padaku untuk ini.

"Nggak sengaja, tiap habis ngelakuin kesalahan apapun selalu bersembunyi di balik kata 'nggak sengaja'"

"kakak pikir aku mau banting handphone aku?"

"Lagi juga ngapain harus lari-lari ngejar busway, kalau ketinggalan ya udah, Busway juga nggak cuma satu kan?"

"Terima kasih sarannya..." Balasku kesal.

"udah...udah.., kok malah pada debat..."

"Habis kak Rumi tuh selalu berusaha cari-cari kesalahan aku"

Mata Rumi membesar mendengar itu "cari-cari kesalahan kamu? Kalau kamu nggak buat masalah ngapain aku cari-cari, nggak penting juga..."

"Tuh kan bi..."

"Apa sih?" kata Rumi dengan nada suaranya yang di buat seolah-olah tersinggung.

"Aisyah, kamu siap-siap ganti pakaian nanti kesiangan..."

"Yaudah sana...sana... Berisik juga disini"

Tak butuh waktu lama untuk aku menyadarinya dan lari keluar dari ruang baca abi menuju kamarku yang ada di lantai 2. Aku sudah paham apa yang harus dilakukan seorang adik agar tak memancing kakaknya untuk bergulat di pagi buta hingga membangunkan tetangga-tetangga.

****

Abi mengantarku tepat di pintu masuk stasiun, sebentar memerhatikanku sebelum akhirnya meninggalkanku yang sudah memasuki area stasiun. aku sudah menceritakan kejadian kemarin pada abi, setidaknya aku tak perlu berbohong pada 2 orang sekaligus. sepanjang perjalanan abi hanya mendengarkan pengakuanku, tak sedikitpun ia berkomentar ketika aku menceritakan tentang handphoneku yang jatuh ketika aku berlari mengejar busway hingga tak sengaja terinjak sebelum akhirnya jatuh ke jalur busway, tentang perjalanan dengan Dita, juga tentang bagaimana reaksi Rumi saat menungguku di stasiun. Aku tak melihat raut marah di wajah abi melainkan senyum yang justru beberapa kali tersungging dari bibirnya. Aku ingat satu hal tentang abi, menurut tante Sarah abi memiliki karakter yang sama dengan Rumi. Jika ada abi dalam wujud perempuan orang itu tentu Rumi, dan jika ada Rumi yang wujudnya laki-laki itulah abi. Dalam beberapa hal aku setuju dengan pendapat tante, namun aku tak sepenuhnya sependapat dengan tante perihal ini, Rumi sama sekali tidak mirip abi untuk urusan yang berhubungan dengan kesabarannya mengurusku karena menurutku Rumi senantiasa meledak-ledak tiap kali dihadapkan dengan kelakuanku.

"Morning sunshine..." suara itu mengagetkanku dari lamunan, sementara sang pemilik suara tengah nyengir lebar di depanku dengan ransel bertengger di depan dadanya dan tangan lain berpegangan pada ring pengangan kereta. 

"gimana?" tanyanya tiba-tiba setelah melihat aku menatapnya dari tempat dudukku.

"gaimana? apanya yang gimana?" tanyaku bingung dengan pertanyaannya.

"Kak Rumi marah nggak semalem?"

"Oooh, nggak"

"seriusan?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kaget yang berlebihan "Kak Rumi nggak marah lo nggak masuk sekolah? awesome!!!" kata Dita tanpa bisa menyembunyikan wajah takjubnya.

"gue belom bilang soal itu"

"belom bilang? terus, maksud  lo kak Rumi nggak marah itu tentang apa?"

"bukan tentang apa-apa.." kataku yang langsung di potong oleh Dita.

"jangan bilang lo nggak cerita sama kak Rumi? maygattttt!!"

"gue baru cerita ke abi"

"kenapa? takut buat cerita sama kak Rumi?" tanyanya dengan raut wajah yang sedikit meledek, sementara aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar tebakannya yang sepenuhnya benar.

Dita hampir tahu semua hal tentangku, dari mulai hal-hal remeh hingga terbesar. Bahkan, hanya dita teman yang sering kali aku repotkan jika aku bertengkar dengan Rumi, mulai dari ia harus berbagi tempat tidurnya denganku, berbagi pakaian, hingga makan. hal yang membuatku banyak menghabiskan waktu liburan di rumahnya, bahkan pernah sekali aku ikut andil dalam merayakan ulang tahun pernikahan orangtuanya, sesuatu yang mengesankan untukku, terlebih karena keluargaku tidak pernah merayakan hal itu.

Aku melihat Dita tengah sibuk merogoh-rogoh isi tasnya dengan susah payah. Dan tiba-tiba ia menyodorkan sebuah buku tebal ke arahku "Kasih kak Rumi ya..."

"Buku siapa ini?" Tanyaku sambil menerima buku tebal itu dan membaca judul yang tertera di sampul buku tersebut, Motherless Daughters.

"Buku Kak Rumi, waktu itu gue pinjem dari dia"

Aku melihat Dita dengan tidak percaya "Lo baca buku ginian? Yang tebal ini? Nggak bercanda kan?"

Matanya mengerling sebal "sebegitu parahnya kah gue di mata lo?"

"iyaaaa..."

"Okay, you know me so well... Mngh, gue pinjem tuh buku karena nggak sengaja. Sumpah, ini buku udah hampir 2 bulan di rumah gue dan gue belum buka sama sekali sejak hari itu" katanya menjelaskan.

"Kalau kayak gitu baru gue percaya! lo masih Dita yang gue kenal berarti"

"brengsek!"

Sementara kereta yang aku tumpangi terus melaju, aku pun menghabiskan waktu kurang dari 10 menit sebelum kereta berhenti di stasiun tujuanku dengan membaca daftar isi dari buku yang tengah ku pegang, menimbang-nimbang buku ini akan seperti apa di mata rumi saat ia membacanya. Menarik, Rumi membaca buku tentang kisah-kisah perempuan tanpa ibu, begitu kira-kira pikirku pada saat itu.

****

pukul 16.45, ini adalah waktu normalku berada di rumah selepas pulang sekolah, dan di jam-jam seperti ini rumah tidak ada siapa-siapa kecuali aku dan seorang asisten rumah tangga yang akan pulang setibanya aku dari sekolah. Ritmenya seperti ini, setelah aku sampai rumah Bu Santi akan segera menyiapkan makan untukku, lantas memberi tahu jam berapa Rumi dan abi akan pulang, setelahnya Bu Santi akan memberi tahu makanan apa saja yang harus ku hangatkan untuk Rumi dan Abi, menunggu aku menyelesaikan makan, dan setelahnya ia akan pamit. Selalu seperti itu, bagi Bu Santi, Aku masih seperti Aisyah kecil yang di temuinya beberapa tahun lalu.

"aku bisa ambil sendiri Bu" kataku sambil membuka kulkas untuk mengambil air saat Bu Santi buru-buru menyiapkan makan untukku.

"nunggu kamu ngambil sendiri sampai malam juga kamu nggak akan makan Sya" aku tertawa mendapati jawaban Bu Santi, terlebih melihat ia yang dengan gesitnya menata meja makan yang tadinya kosong hingga berisi lauk pauk yang sudah ia masak.

"Aku makannya nanti aja Bu bareng kak Rumi, aku masih kenyang"

Mata bu Santi seketika melotot "Asya mau nunggu sampai selasa sore dulu baru mau makan?"

aku bingung.  maksud?

"kakak kan ke luar kota, baliknya baru selasa sore"

"keluar kota?"

"iya, keluar kota" ulang Bu Santi.

"bukannya kakak mau ke makam umi siang tadi?"

"kalau soal itu ibu nggak tahu... tapi ibu juga bingung soalnya handphonennya nggak di bawa Sya, tadi pas ibu beres-beres kamar kakak handphonenya bunyi terus... coba nanti kamu cek, ibu nggak berani liat-liat"

"kakak nggak telphone ke rumah buat nanyain handphonenya ke ibu?" tanyaku penasaran.

"nggak"

kebiasaan! pikirku kesal.

Tinggal aku sendiri di rumah, bu santi sudah pamit sejak ia memastikan bahwa aku memakan makanan yang sudah ia siapkan. sekarang hanya aku sendiri berbaring di kamar Rumi yang penuh dengan buku. di meja kecil samping tempat tidurnya ada buku yang sepertinya belum selesai ia baca, di cover depannya tertulis Elizabeth Bishop Complete Poems. Aku membaca salah satu puisi karya Bishop, namun baru sebentar membacanya aku langsung meletakkannya kembali ke meja dan memilih untuk berbaring di tempat tidurnya.

Aku jarang masuk ke kamar Rumi jika tidak seperti ini, hal ini karena aku menyadari bahwa  Rumi menjadikan kamarnya sebagai ruang yang penuh dengan privasi, dan aku menghargai privasinya. Aku menghargai setiap inci rahasia terdalam dari lapisan inti dirinya. Rumi memang penuh dengan rahasia, aku ingat ketika ia merahasiakan bahwa ia menolak tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan masternya di University Of New South Wales beberapa tahun lalu dan justru memilih melanjutkannya di salah satu universitas negeri di Jakarta. Aku ingat betapa abi begitu menyayangkan keputusannya itu, namun seperti halnya aku yang cukup mengenal Rumi, abi juga mengerti bahwa keputusan Rumi tidak bisa  untuk di ganggu gugat. Alhasil, kami hanya bisa menyaksikan bahwa Rumi lebih memilih untuk tinggal, dan memilih untuk bekerja sebagai editor juga translator di salah satu penerbit.

Aku menarik nafas panjang, melihat sekeliling kamar Rumi yang tertata rapi meski di penuhi buku-buku. Jelas tidak seperti kamarku yang berantakan, yang disana-sini penuh dengan sketsa-sketsa wajah yang tak pernah selesai ku lukis, coretan-coretan puisi di mading besar di sisi kanan kamarku, juga tumpukkan novel romansa yang sengaja aku beli baik di toko buku, di kios-kios di blok m, maupun di big wolf yang tiap tahun di adakan. Sementara koleksi buku Rumi, ah hampir semua koleksi Rumi membuatku malas untuk membaca. Pernah aku meminjamnya, tapi itu hanya untuk mengutip puisi-puisi dari penyair terkenal untuk di posting di jejaring sosial, mengetahui itu Rumi langsung menceramahiku panjang lebar. Aku selalu tersenyum tiap kali mengingat ada banyak hal yang berbeda antara aku dan Rumi, terlebih dari hal selera dalam membaca, dia begitu menyukai karya-karya klasik seperti tulisan Jane Austen, F Scott Fitzgerald, Hemingway, James Patterson, Kafka, dan penulis-penulis yang tidak aku tahu, sementara aku? Aku lebih menyukai karya tulisan kontemporer.  Tapi untuk masalah tontonan, aku dan Rumi punya selera yang sama, bahkan kami sering menghabiskan liburan untuk menonton koleksi filmku yang menurut Rumi bagus, adakalanya kami keluar untuk menonton film berdua namun itu tidak sering bahkan dalam satu tahun tak sampai 5x kami bisa memiliki waktu untuk keluar menonton film berdua.

Mataku tertuju pada handphone yang tergeletak di atas meja kecil di samping buku puisi Bishop, dari tempat tidur aku mencoba meraih handphone itu dengan tangan kiriku, dan.... dapat! Satu hal yang paling aku suka dari Rumi, dia bukan tipikal orang yang menggunakan password pada handphone, laptop, komputer, atau barang elektronik apapun yang memerlukan itu. Aku membuka layar utama dan mambuka galeri foto disana, hampir semuanya adalah foto pemandangan alam, fotonya bersama teman-teman kuliahnya yang hampir semuanya aku kenal, foto bersama teman kantornya, foto kami bertiga, dan, yeah, tidak ada satupun foto dia dengan seorang laki-laki yang mengindikasikan bahwa dia punya hubungan. Rumi masih sendiri? Bosan melihat fotonya aku pun beralih ke akun Whatsapp, mencari satu per satu orang yang sering chatting dengan Rumi, tak ada. Hampir semua teman yang sering chatting dengannya bisa di hitung jari dan sayangnya aku juga mengenal mereka dengan baik, karena seringnya mereka datang ke rumah. Aku menaruh handphone Rumi di tempatnya semula setelah melihat-lihat isi handphonenya, tidak ada yang menarik disana. Alhasil, aku hanya tidur-tiduran sambil di temani musik folk dari handphone Rumi.

Aku yakin aku akan tertidur pulas di kamar Rumi kalau bukan ingatan tentang kejadian di kereta tadi pagi menyadarkanku tentang tujuan awal aku berada di kamar Rumi, buku. Aku membuka kembali buku itu, berusaha untuk mengetahui penulisnya di halaman belakang buku itu, membaca biografi singkatnya dan setelah itu kepalaku di penuhi rasa ingin tahu yang begitu besar, mengapa Rumi membaca buku seperti ini? Apa ia ingin menemukan kesamaan kisah dari para pembaca atau penulis? aku kembali ke halaman depan buku tersebut, dimana terdapat surat-surat yang dikirimkan pembaca kepada sang penulis, yang mana isi dari surat itu menceritakan tentang perasaan mereka yang kehilangan ibu, tentang bagaimana mereka mampu melalui hari tanpa figure penting ibu dalam tumbuh kembang mereka. Dari cerita itu aku dapat menemukan kesedihan, kekuatan, juga rasa yang mungkin sama.

Apa Rumi kesepian?

Seketika aku menutup buku yang tengah ku pegang, menaruhnya begitu saja di meja bersama buku kumpulan puisi Elisabeth Bishop. Sementara itu perhatianku tertuju pada meja kerja Rumi. Aku melihat meja itu, meja yang masih tetap sama, tata letak yang juga sama. Tak ada yang dia rubah. Diatas meja itu bertengger 1 komputer keluaran amerika, di ujung meja 3 buku tertata rapi; 1 buku kumpulan cerpen dari penulis wanita bernama Jhumpa Lahiri, dan 2 novel lumayan tebal dari Elif Shafak. Benar-benar Rumi, pikirku. Perhatianku lantas beralih untuk membuka 2 laci kecil di bawah meja itu, di laci pertama aku melihat dua naskah novel disana, setelah mengambilnya dan membolak-balik sekilas aku pun mengembalikannya lagi ke tempat semula. Lantas kembali ke laci sebelah kiri, ada banyak kertas-kertas disana. Dan, yeah, aku menemukan sesuatu yang tengah aku cari. Buku Harian.

Rumi begitu suka kegiatan menulis buku harian, sesuatu yang baru aku sadari ketika aku duduk di bangku SMP saat menemukan buku harian Rumi diantara buku-bukunya. Waktu itu aku hampir membaca semua buku itu saat tiba-tiba Rumi masuk ke kamar dan mendapati aku tengah asyik membaca buku hariannya. Rumi yang melihat aku membaca buku hariannya tanpa izin seketika meledak, ia menarik aku keluar dari kamar dan membanting pintu. Setelah kejadian itu, kami saling tidak bicara hampir 1 minggu dan mungkin akan terus berlanjut kalau saja Abi masih tugas di luar kota.

****

Dengan tersenyum puas akupun membuka buku harian itu, membaca tiap laman dengan penuh semangat dan rasa ingin tahu. Di lembar pertama buku harian itu Rumi menulis tentang seorang wanita yang ia temui di halte busway, wanita yang berbicara dengannya tentang anak laki-lakinya yang meninggal karena kanker. Dalam tulisan itu, aku bisa melihat simpati rumi yang begitu dalam kepada sosok wanita dalam ceritanya. Dilembar berikutnya, Rumi bercerita tentang Pak Hasan, sopir pribadi abi. Di catatan itu, Rumi menulis tentang bagaimana laki-laki itu dimatanya, tentang bagaimana selama ini ia tak banyak tahu tentang kehidupan Pak Hasan yang hampir 9 tahun ini menjadi bagian dalam keluarga kami. Laki-laki yang lebih banyak waktunya berada disini daripada dengan keluarganya yang jauh di kampung. Ia yang seringkali di mintai tolong untuk mengantar Rumi ke bandara meski hampir tengah malam. Membaca itu membuat aku mengingat-ingat kapan terakhir aku dan Rumi berada dalam satu mobil yang sama dengan Pak Hasan? Entahlah, mungkin beberapa minggu lalu saat pergi ke pernikahan anak dari kolega abi. Ah, ya, benar. Karena sepulang dari sana aku dan Rumi bertengkar di mobil lantaran aku memasukkan permen karet bekas ke dalam tas tangannya.

Setelah membaca ungkapan hatinya tentang Pak Hassan akupun membuka lembar lain tapi tak ada tulisan lain disana. Buku ini masih baru. Aku membaliknya lagi dan melihat tanggal yang tertera di tulisan terakhirnya tentang Pak Hassan, sudah hampir 3 bulan lalu.  Dan...

Dimana Rumi menyimpan buku-buku hariannya yang lama?

Aku melongok ke laci itu, tak ada lagi buku harian. Yang ada hanya kertas-kertas penuh tulisan, esai-esai yang ia tulis, puisi-puisi dengan bahasa super berat, dan... Tidak ada.

Apa tidak ada satu rahasia pun yang Rumi sembunyikan di kamarnya yang begitu nyaman ini? sesuatu yang mungkin ia sembunyikan di balik meja kerjanya atau di catatan-catatan yang ia tulis dan menggambarkan kesedihannya. Atau... Mataku tertuju pada komputer di meja Rumi, Komputer yang setiap sisinya di penuhi notes yang isinya kutipan dari penulis-penulis yang satupun bukunya belum pernah aku baca. Dengan senyum mengembang akupun menekan tombol power yang ada di bagian belakang komputer hingga komputer itu menyala. Tak butuh waktu lama untuk berselancar ke dalam folder kerja Rumi, lantas membuka satu persatu folder. Untuk beberapa saat aku cukup mengagumi sosok Rumi, tak hanya kamar maupun bukunya yang tertata rapi, folder-folder di komputernya pun begitu rapi. Dan yang menarik dari itu semua, ia menamai folder-folder itu dengan nama penulis-penulis klasik idolanya, seperti folder untuk kumpulan naskah yang di editnya dia menamai dengan nama Anton Chekov, folder yang berisi tulisannya dengan nama Jane Austen, dan masih ada 9 folder lagi dengan nama-nama penulis-penulis terkenal itu.

Aku memutuskan untuk membuka folder Jane Austen setelah terpaku pada folder Kafka yang isinya hasil revisi naskah, dan mengarahkan krusor pada judul-judul yang cukup menarik dan membuka satu demi satu file disana, membacanya, dan hanyut oleh setiap kata yang Rumi tuangkan.

Tak lama setelahnya bibirku menyunggingkan senyuman, karena folder ini merupakan salinan dari diary Rumi. Ya, Rumi menuliskan dengan rinci dalam bentuk cerita pendek, namun aku tahu benar kisah itu adalah pengalaman pribadi Rumi karena beberapa dari tulisan yang aku baca sempat di ceritakan Rumi, atau terjadi saat Rumi bersamaku.

Ya Tuhan, aku menemukannya!

Senyum masih tersungging di bibirku, menarikku membaca setiap judul disana. Sampai akhirnya krusor yang ku pegang tertuju pada tulisan 'Tanpa Judul',  Aku membacanya dengan suka cita, terbawa.., Dan......., Senyum di bibirku pun perlahan menghilang....

........... Pada akhirnya Umi membumi di suatu pagi yang cerah di awal bulan juli, ia kembali bersatu dengan ibu pertiwi setelah hari-hari yang kami lalui tanpa sekalipun meninggalkannya. Sakitnya umi menjadi hal yang tidak mudah untuk keluarga kami, bahkan untuk adikku sekalipun, Aisyah, yang pada saat itu masih berusia 4 tahun. Aisyah tidak tahu apapun yang tengah terjadi pada Umi, yang Aisyah tahu Umi hanya tengah tidur di suatu tempat tak jauh dari tempat ia bersekolah dan yang sewaktu-waktu bisa dia kunjungi bersama tante.

Aisyah yang biasanya pulang sekolah di jemput Umi kini harus dijemput oleh Tante Sarah, adik Umi. Setelahnya tante akan membawanya ke rumah sakit untuk melihat perkembangan Umi satu atau dua jam, hingga akhirnya hal itu menjadi sebuah rutinitas keluarga kami selama lebih dari 2 bulan. Awalnya Abi tidak mengizinkan Aisyah datang tiap hari ke rumah sakit, namun tante Sarah bersikeras bahwa dengan di kelilingi orang-orang terkasihnya bisa menjadi terapi agar Umi bisa sadar dari koma, dan saya sepenuhnya mendukung tante untuk hal itu. Sering saya bercerita pada Umi tentang kegiatan di sekolah, tentang ulah yang dibuat Aisyah di rumah, juga tentang Abi. Diluaar itu saya menceritakan semua hal pada umi, saya menceritakan tentang cuaca di luar dan mendeskripsikannya dengan jelas, membacakannya cerpen dari Anton Chekov, dan, yah, kadang saya menangis saat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan jika umi terus-terusan seperti itu.

Ada moment Umi merespon itu dengan menggerak-gerakan tangannya saat saya bercerita, bahkan pernah umi merespon dengan menangis, itu terjadi di minggu-minggu pertama umi di rawat di rumah sakit, saat tante Sarah memutuskan membawa Aisyah yang terus-terusan menangis memanggil-manggil umi ke Rumah Sakit agar bisa melihat umi. Disana, Aisyah menangis di dada Umi, memintanya untuk bangun. Saya selalu ingin menangis jika ingat moment itu, dimana Aisyah tak benar-benar tahu apa yang terjadi dengan umi bahkan seberapapun usahanya untuk membangunkan umi, umi tak akan bangun.

Saya ingat ketika tante Sarah mengajak Aisyah untuk pulang setelah hampir 1 jam disana, namun yang di lakukan Aisyah justru menarik-narik tangan umi dan memintanya untuk bangun dan ikut pulang bersama kami, dan di saat itulah saya melihat air mata umi mengalir di pipinya yang pucat. Umi menangis. Saya pikir, hanya hati saya yang sakit melihat Aisyah seperti itu ternyata umi juga merasakan hal yang sama. Buktinya Air mata itu terus mengalir meski mata umi terpejam. Tante Sarah yang melihat itu seketika mengusap air mata di pipi umi dengan tangannya seraya menahan air matanya sendiri untuk tidak menangis. Tante tak mengucapkan apa-apa selain mencium umi dan lantas meraih Aisyah ke dalam pelukannya dan membawanya keluar dari ruangan Umi tanpa memedulikan Aisyah yang terus meronta-ronta. Dan setelah kejadian itu saya menjadi semakin sering bercerita pada umi, berusaha untuk mengantarkan kehidupan untuk umi, berusaha untuk melihat reaksinya sekecil apapun. Namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Tidak pernah.

Sampai akhirnya suatu malam telepon rumah berbunyi, tante Sarah yang mengangkatnya. Itu telepon dari Om Ibrahim, kakak Umi. Om menelepon untuk mengabarkan keadaan umi dan meminta tante Sarah dan aku untuk datang. Tante sarah sudah bisa menduga apa yang terjadi pada umi meski Om tidak memberi tahukan hal itu kepadanya, hal itu bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang kaku dan terpaku pada gagang telepone yang ia pegang, tak lama tante Sarah meletakkan gagang telepon itu dengan kasar, lantas mengambil kunci mobil dan menarik saya yang saat itu tengah menonton televisi untuk ikut dengannya ke rumah sakit, sepanjang perjalanan tante Sarah tidak bicara apapun, tidak memberi tahu apapun selain bagaimana ia terus berkonsentrasi penuh ke jalan untuk mendahului setiap kendaraan di depan kami.

Tak sampai 30 menit saya dan tante Sarah sudah tiba di rumah sakit, langkah kaki tante sarah yang cepat membuat saya mengikutinya dengan setengah berlari. Malam itu, saya benar-benar tidak tahu apa yang tengah terjadi sampai akhirnya saya tiba di ruang rawat umi dan terjawablah semua. Saya ingat dengan jelas suasana setibanya kami di ruang rawat umi, hampir seluruh keluarga inti kami sudah berkumpul bahkan bisa dikatakan saya dan tante Sarah adalah yang terakhir tiba di rumah sakit. Pada saat itu mataku tertuju pada umi, lantas ke abi yang tengah berdiri di samping Umi. Saya kembali melihat umi, saat itu saya sadar bahwa alat-alat kedokteran yang selama 2 bulan ini tak pernah di lepas dari tubuh umi hari itu sudah tidak ada lagi, semuanya sudah di copot. Hanya ada umi yang seperti biasa malam itu, umi yang "tertidur pulas". namun kali ini umi tenggelam bersama tidur panjangnya tanpa harapan bahwa umi akan bangun. Tidak akan pernah bangun, bahkan sekedar untuk membalas ciuman saya.

Hari itu bukan akhir kesedihan, melainkan sebuah awal dari yang namanya proses pendewasaan, hal yang di mulai dengan kehilangan figure penting dalam kehidupan. Bagi seorang remaja putri sulit untuk menerima kenyataan seperti ini, karena dalam prosesnya sosok ibu merupakan peran penting dalam kehidupan anak perempuannya, ibu adalah teladan yang akan ditirunya dalam membangun kehidupan. Seorang wanita akan belajar dari wanita lain dalam membangun kehidupan dan dalam ini mereka belajar dari sosok ibu mereka. Lantas bagaiamana dengan saya? Bagaimana dengan Aisyah? Siapa yang akan mengajari saya untuk memasak? Siapa yang akan membantu saya mengurus pernikahan? Dan siapa yang akan mendampingi saya saat saat saya melahirkan anak pertama? Saya terus bertanya-tanya tentang itu saat bulan demi bulan kehilangan umi semakin terasa. Namun adakalanya saya merasa jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan Aisyah, karena ia harus ditinggal umi di usianya yang baru 4 tahun, ia bahkan tak tahu persis apa yang terjadi pada umi. Bahkan saya tidak yakin Aisyah punya kenangan dengan umi seperti yang saya miliki.

"Abi, kemarin aku bilang sama bu guru kalau umi aku meninggal, tapi aku nggak tahu meninggal itu apa. terus aku tanya ibu guru, kata ibu guru kalau meninggal itu artinya umi ada di tempat yang jauh dan umi bisa lihat apapun yang aku lakuin, apa itu benar?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Aisyah saat abi tengah memakaikan sepatu sekolah untuknya, abi hanya mengangguk untuk itu. "tapi kalau kata Okta, temen aku yang paling pinter dikelas, meninggal itu artinya aku nggak punya umi lagi. Meninggal itu artinya aku nggak bisa lihat umi lagi" saya yang saat itu tengah memerhatikan adegan itu tak kuasa merasa sedih, hati saya terasa diremas begitu kuat. Dan abi, ia diam tanpa berkata apa-apa kecuali senyum yang ia usahakan untuk Aisyah. Saya ingat hari itu, 1 bulan setelah kepergian umi. 1 bulan yang terasa sangat berat dan saya tidak pernah tahu hari-hari kedepan apakah akan semakin berat atau tidak. Tapi yang jelas, kedepannya akan lebih sulit dari ini. Karena semakin lama rasa itu justru semakin tumbuh, dan Aisyah, dia akan terus bertanya tentang umi.

Tapi dugaan saya salah, seiring pertumbuhan Aisyah, ia jarang membahas tentang umi. Tidak seperti tahun-tahun pertama kepergian Umi dimana ia terus bertanya apa itu meninggal, seperti apa rasanya, apakah Aisyah juga akan meninggal, dan hal-hal yang tidak bisa saya jawab. Namun sekarang ia cendrung tak pernah membahas itu, bahkan Aisyah secara terang-terangan tidak pernah mau membahas tentang Umi, dan hal itu di tunjukan dengan ia yang tidak pernah mau masuk ke dalam ruang baca, tempat dimana foto besar keluarga kami bertengger di dinding utama ruang baca.

"Aku merasa kayak lagi di perhatiin sama umi" begitu katanya saat saya berusaha bertanya perihal keengganannya untuk masuk kesana.

Awalnya saya berpikir bahwa Aisyah akan tumbuh seperti itu, dengan tidak menginginkan kenangan umi hadir dalam hidupnya, hal yang sepenuhnya membuat saya merasa bersalah karena tak pernah berbagi perasaan saya tentang umi pada Aisyah. Namun dugaan saya sepenuhnya salah, Aisyah tidak seperti yang saya pikirkan, karena di balik peringainya yang berusaha untuk bersikap biasa, ia tetap Aisyah yang butuh umi, Itu yang saya lihat saat tanpa sengaja mendapati ia berada di makam umi di hari ibu. Saya mengira bahwa Aisyah hanya ingin berkunjung di hari ibu, sampai akhirnya saya mendengar pengakuan penjaga makam yang mengatakan bahwa hampir setiap jumat sore Aisyah datang dengan masih berseragam sekolah, biasanya Aisyah akan duduk di samping makam umi untuk waktu yang lumayan lama sebelum akhirnya pergi.

Saya paham bahwa Aisyah punya cara sendiri untuk itu, dan di usianya sekarang, dia punya cara sendiri untuk menunjukkannya.

Aku menyeka air mata yang terus mengalir mendapati penuturan singkat Rumi. Ya, Rumi benar, aku tidak tahu apa-apa, aku bahkan tidak memiliki ingatan yang baik tentang umi. Aku hanya mengetahui umi dari cerita-cerita yang disampaikan oleh abi, tante Sarah, ataupun keluarga kami yang lain di waktu-waktu tertentu. Selebihnya aku tak pernah mendengar tentang umi, selain melihat foto-foto lama. Aku tahu mereka akan menjawab pertanyaanku tentang umi jika aku bertanya tentangnya meski aku tahu mereka harus menelan kepahitan saat menceritakan tentang orang yang begitu mereka kasihi, tapi seperti yang Rumi tahu aku tidak pernah melakukan itu. Aku tak ingin menyinggung perasaan mereka meski di lubuk hati terdalam, aku juga ingin mengenal umi seperti Rumi mengenalnya. Mungkin jika aku bisa mengatakan yang sejujurnya pada abi ataupun Rumi, aku ingin mengatakan bahwa aku ingin mengenal umi, aku ingin kasih sayang umi.

Perhatianku seketika teralihkan saat aku mendengar suara klakson mobil di depan, aku pun bangkit dari duduk dan berjalan ke jendela untuk melihat keluar. Abi sudah pulang. Tanpa aba-aba aku pun lantas berjalan kembali ke meja kerja Rumi, melihat jam di komputer, lari ke kamar mandi untuk mencuci muka, berjalan keluar kamar rumi dan menuruni anak tangga untuk menyiapkan makan malam untuk abi.

Monday, April 8, 2019

Saat Anak Broadcasting Ngerumpi Mulai Dari SKS, Style Anak Public Relations dan Ekonomi (15/100)

Mungkin buat sebagian orang ini akan menjadi judul yang begitu menarik karena yang akan di bahas adalah bagaimana anak PR dan ekonomi di mata anak broadcasting dan bagaimana kita sendiri yang anak broadcasting menilai diri kita dari sudut pandang kita dan cuma di depan kita-kita *kok begini ya bahasanya?*

Jadi gini, kebetulan percakapan ini beralangsung hari sabtu kemarin selepas jam kuliah di depan minimarket di seberang kampus. Jadi setelah makan malam ala-ala *ala kadarnya maksudnya* dengan nasi goreng yang kebanyakan micin dan di selingi percakapan kita (gue, Putra, stefany, Kojo + Enggar) tentang keinginan tinggal di luar negeri untuk lanjut S2 (mimpi kita yang anak biasa-biasa saja), tentang project KPN gue, tentang pengajian yang diikuti Enggar dan Kojo di daerah blok m kita pun kembali ke aktivitas masing-masing, gue dan Stef harus ke kantin nyusul si Desi yang lagi lihat tugas Feature & Documentarynya, Putra, Kojo dan Enggar juga balik ke kampus buat ikut kelas terakhir di jam 19.30, pisah deh kita setelah percakapan panjang lebar di sesi pertama ini *hah? sesi pertama?* iya, soalnya percakapan yang sesuai judul itu terjadi di sesi kedua, di tempat yang berbeda (di depan indomaret depan kampus) karena obrolan panjang lebar pertama kan terjadi di warung nasi goreng wkwkwkwkwk.

Itu udah jam 8an, harusnya gue udah pulang *harusnya* karena gue selesai kelas di jam 18.40an tapi sampai jarum panjang di angka 8 gue, Desi, dan Stefany masih duduk-duduk di depan indomaret buat dengerin si Desi *yang entah gimana ceritanya bisa punya banyak banget tugas* diskusi sama kelompoknya, gue dan Stefany yang kebetulan nggak sekelas sama dia cuma melongo dengerin mereka, sesekali disuruh si Desi buat lihat video yang harus mereka analisis dengan metode Kuali atau Kuanti. Terus gue dan Stefany diem lagi sambil merhatiin mereka, lirik sana, lirik sini sampe....

Stefany : ehhhhhhhhhh *setengah teriak* *manggil temennya* Woy, mau kemana?

Gue yang waktu adegan si Stef manggil temennya sibuk celingukan ke segala arah nggak sempet lihat temennya yang lagi jalan, tiba-tiba tuh orang udah ada aja di belakang gue dan berdiri di antara gue dan Stefany.

Stefany : darimana aja kok baru kelihatan sih?

Oke... gini...gini... karena gue lupa nama temen si Stefany itu siapa, gimana kalau gue kasih nama untuk mempermudah ya, bukan nama samaran tapi nama panggilan wkwk, nah gue bakal kasih dia nama Stefanus. Lanjut!!!!

Stefanus : ya ampun, ngapain lo disini???

Stefany : lagi nungguin dia nih *ngelirik ke Desi yang masih diskusi* kemana aja?

Stefanus : Gue cuti... 2x.

Stefany : Hah????? 2x, ngapain aja lo cuti 2x, sekarang lo semester berapa?

Stefanus : semester 6 gue sekarang.

Stefany : terus sekarang SKS tempuh lo berapa?

Oke, gue ingin menjelaskan, untuk kita yang sekarang duduk di semester 6 atau 7 pasti tiap kali ketemu temen lama hal pertama yang ditanyain adalah lo semester berapa? SKS tempuh lo sekarang berapa? menurut kita penting banget gitu buat nanya tentang stasus semester dan SKS tempuh, karena hal itu bakal menghadirkan pertanyaan-pertanyaan lagi jika SKSnya ternyata sudah memasuki jumlah yang cukup untuk magang maka pertanyaan akan menjadi seputar magang lo udah magang? magang dimana, dst. Nah percakapan yang gue kira bakal sebentar itu ternyata berlangsung hampir 30 menitan atau bahkan lebihhhhhhhhhhh *lama juga ya?*

Awalnya sih kita asik ngebahas masalah SKS tempuh, soalnya temennya si Stefany ini harusnya udah semester 8 kalau nggak cuti tapi karena si Steffanus ini cuti 2x jadilah dia masih semester 6 sama kayak gue, dan si Stef yang juga harusnya semester 8 tapi gara-gara cuti sekali jadi masih semester 7. Cuti sih jadi hal biasa kalau lo kuliah karyawan, dan temen-temen gue juga banyak yang cuti, tapi menarik dari cerita cuti disini adalah.... Si Stefanus yang wajarnya di semester 6 ini sudah menginjak 95 SKS (belum di tambah dengan semester 6 karena masih berjalan) kalau selalu ambil 19 SKS/semester, dan bakal 86 SKS kalau dia ambilnya 18 SKS (dengan catatan nggak ada mata kuliah yang harus ngulang) di semseter 6 ini SKS tempuhnya justru masih 60 sekian, omaygatttttttttttttttt!

Gue yang denger dia ngomong jumlah SKSnya mau nggak mau langsung fokus ke nih orang yang lagi berdiri di antara gue dan stefany, Stefany yang denger itu juga kaget. Terus akhirnya kita saling tanya SKS, saling tanya apa kendalanya selama ini, sampai akhirnya dia cerita bahwa selepas cuti itu dia sebenernya udah males banget buat kuliah hal itu di buktikan dengan nilainya yang ancur di semester pertama setelah cuti, kalau nggak salah dia sempet bilang habis cuti dia sempet nyicipin rasanya IPK 1, gue sama si Stefany melongo.... Seriusan??????????????

Jujur gue pun pernah ngerasain apa yang dia rasaian, maksud gue tentang Cuti. Kalau lo pernah cuti, lo memang bakal ngerasain males lagi buat memulai kuliah hal ini karena lo udah nyaman dengan aktivitas  baru lo di rumah, atau kegiatan lo di luar yang bisa lo lakuin pas weekend, dan tiba-tiba dengan lo aktif lagi lo bakal merasa aneh. Apalagi  kalau hal ini di dukung dengan temen-temen lo yang otomatis sudah 1 tingkat di atas lo, belum lagi kalau lo cuti sendiri lo harus menyesuaikan diri ke temen-temen baru lo yang rata-rata pasti anak-anak semester baru. Alhasil males deh buat kuliah karena harus belajar bersosialisasi lagi. Nah ini juga yang terjadi sama si Stefanus, dia yang katanya sulit bersosialisasi ini merasa jadi nggak punya temen, curhatlah dia tentang temen-temennya yang udah pada berhenti kuliah dan sempat mengutarakan niatnya untuk keluar juga.

Stefany : Jangan, kalau berhenti di semester 6 tuh sayang perjuangan lo buat sampe sini. Lo kejar aja dengan ambil SP, terus isi KRS maksimalin di 19 SKS.

Stefanus : tapi gue masih jauh, kalau sekarang aja gue masih 60an SKS tempuhnya, kemungkinan lulus berapa semester lagi deh?

Gue yang denger pertanyaan dia langsung buka kalkulator untuk hitung-hitungan SKS, dan langsung bilang 4 atau 5 semester lagi, paitnya sih 5. itupun dengan catatan nggak ada matkul yang ngulang dan lo nggak ngaret di TA. Si Stefanus yang denger itupun langsung melorot.

Setelah capek ngebahas masalah Semester dan SKS tempuh kitapun ngebahas masalah dosen, nah percakapan ini di mulai gara-gara si Steffanus nanya tentang Dosen Editing II, dia nanya editing II tuh enaknya dosennya sama siapa? dan pada akhirnyaaaaaaaaa.... seperti mahasiswa pada umumnya gue, Stefany dan si Stefanus ngerumpi tentang dosen-dosen yang nyebelin sama yang enggak. Lucunya untuk 1 dosen kita sampe bahas panjang lebar, sebut aja nama dosennya itu Pak Miguel. Pak Miguel ini termasuk dosen paling hits di kampus gue di Meruya, soalnya ada-ada aja ulah yang di buat sama dia di dalem kelas yang buat kita semua tepuk jidat, setiap tugas dari dia selalu buat gue dan temen-temen yang lain merasa dia selalu di untungkan. Bayangin, kita harus buat video dia lagi ngajar di kelas, terus video itu harus di edit sedemikian rupa biar oke punya, terus kita harus Upload video itu di youtube channelnya, terus...terus... kita (mahasiswanya) harus subscribe channel youtubenya, kasih komentar dan tonton setiap videonya sampe habisssssssssssssssssssssssssssssssssssssss. Bayangkan? bagaimana dari tugas-tugas itu dia begitu di untungkan. Dan sudah jadi rahasia umum buat para mahasiswa bahwa dosen ini kelakuannya seperti itu, tapi untungnya karena setiap bab dari bukunya sudah di bahas sama kelas gue dulu (sudah dibuat video) alhasil untuk temen-temen gue yang ambil matkul itu di semester-semester setelah gue, AMAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNNNNNNNNNNNN. Yeah cuma kita nggak guarantee kalau dia ngeluarin buku baru di matkul lain wkwkwkwkwkwk. Lucunya, kalau ngebahas tentang Pak Miguel ini selalu menarik, dan kita langsung begitu talkative untuk mengemukakan pendapat tentang dia, sampe-sampe di akhir percakapan tentang "ngomongin dosen" itu kita pun celingukan kiri-kanan takut-takut ada dosen yang (mungkin) lagi duduk-duduk di depan tuh indomaret sambil nunggu jemputan, atau nunggu taksi online dan denger percakapan mahasiswa tak beradab ini wkwkwk.

Stefanus : Aduh gue takut nih ambil editing, takut kalau harus ada kelompok, terus dosennya nggak enak, aduh gimana dong?

Gue : SKSD aja sih. Kalau lo ada pembagian kelompok lo langsung deketin mahasiswa di samping lo, terus tanya udah bikin kelompok belom? terus minta gabung deh, nilai plusnya lo bakal dapet temen baru juga di kelas itu.

Stefanus : Gue tuh nggak bisa SKSD. lo tahu nggak, gue tuh di semester ini sengaja ambill matkul yang sekelas sama anak-anak PR.

Gue : Kenapa? kalau gue malah minder kalau harus sekelas sama anak-anak PR.

Stefany : Iya sama gue jugaaaaakkkkk.

Stefanus : entah kenapa gue tuh ngerasa nggak bisa buat gabung sama anak-anak broadcasting apalagi sejak aktif cuti. Gue ngerasa sulit buat gabung sama anak Broadcasting dan justru lebih nyaman ke anak PR.

Gue : kalau gue, bedaaaaaaaa... Gue ngerasa kalau ketemu sama anak broadcast tuh kayak ketemu keluarga aja, maksud gue gini... lo mungkin berada dalam satu kelas yang semuanya muka-muka baru, tapi saat di dalem kelas itu ada muka-muka orang yang pernah sekelas sama lo di semester lalu dan ketemu lagi, gue bakal merasa.... seneng. Meski dulu nggak akrab tapi pas ketemu gitu pasti langsung bisa akrab, karena gue bakal sok akrab wkwkwk (ini fakta)

Stefanus : Gue nggak bisa.

Stefany : Anak PR kenapa kece-kece ya? Dandanannya necis banget, padahal kan kayak yang lo tahu biaya kuliah aja mahalan kita, pokoknya dari semua fakultas dan jurusan, Broadcasting paling mahal, tapi style anak broadcast justru paling payahhhhhhh ya? Rambut gondrong, rata-rata pada pakai kaos ke kampus, pake kemeja flanel, pokoknya kayaknya jiwa-jiwa orang lapangannya keluar banget gituuuuu.

Gue setuju banget sama Stefany, kebanyakan mahasiswa broadcasting itu memang kayak gitu meski memang nggak semuanya gitu, tapi kebanyakan memang ya seperti itu. Gue ngerasain itu karena memang faktanya temen-temen gue ada yang rambutnya gondrong, ada cowok yang ke kampus pakai celana yang lebar di bawah dan rambutnya keribo (gue beberapa kali sekelas sama dia, nggak hafal nama tapi beberapa kali sempet ngobrol dan discus), ada juga yang ke kampus pakai sendal jepit swallow *ini seriusan* terus..terus.. rata-rata sih jarang pakai ransel kayak gue, mereka cendrung bawa tas selempang yang biasa cowok-cowok pada umumnya pakai kecuali kalau harus bawa kamera baru mereka pake ransel. Nah, anak broadcast ini (dari kaca mata gue) kebanyakan anak gunung, soalnya banyak dari mereka kuliah dengan bawa ransel buat naik gunung (yang ukuran ransel ya bukan buat ngedaki yang guede itu), memakai kaos ala-ala anak gunung, terus sepatunya juga sepatu-sepatu anak gunung dan rambut mereka pastilah sedikit gondrong, Karena beberapa temen yang gue kenal suka naik gunung style nya memang begitu, dan itu bakal banyak lo temui di anak broadcast. Yang gue jabarin tadi memang cendrung untuk anak cowok, tapi untuk anak cewek pun memang gayanya cendrung biasa aja, tapi tergantung individu sih.
Bocah ngapa ya??
Tercyduuukkk

Nggak mau di foto
Sementara anak Humas/PR itu memang beda, ini sih berdasarkan pengalaman gue beberapa kali sekelas sama anak PR salah satunya di Matkul English For Communication 1 dan Bahasa Indonesia, ini untuk cowoknya yah. Mereka itu rapih jali.... Gue pernah sekelas sama anak PR di semester 2, gue lupa namanya siapa yang jelas dia anak PR. orangnya gimana? cakep. putih. tinggi. nggak urakan. kuliah bawa ransel. cakep. putih. tinggi. dan pinter. dan, rapih jali lah pokoknya, meskipun dia pake kaos tapi kelihatannya itu beda pembawaan. terusssss... terussss... waktu semester pendek kemarin, gue lihat ada anak PR juga sekelas sama gue, dan lagi-lagi gayanya sama kayak yang gue kenal di semester 2 tadi, orangnya rapih, terus kuliah bawa ransel, terus rapih, pakaiannya juga rapih, pokoknya rapihlah, muka-mukanya juga bening gitu wkwkwkwkwk *untung gue nggak ambil PR* dan yeah mereka pinter bahasa inggris, hal ini yang sepenuhnya buat gue minder selain gaya mereka yang kece itu.

Stefanus : Anak PR yang sekelas sama gue kadang ngobrol aja pakai bahasa inggris. Gue kan pasif ya, jadi pas gue mau nanggapin obrolan mereka gue kaku gitu.

Nah, di point ini gue mau benerin. Sebenernya nggak semua anak PR itu jago bahasa inggris, tapi memang kebanyakan dari mereka sudah tahu seperti apa penguasaan bahasa inggris dalam lingkungan kerja mereka kelak, alhasil kebanyakan dari mereka memang jago bahasa inggris. Hal ini bisa gue lihat waktu gue ambil mata kuliah English For Communication 1, saat mereka mengisi forum yang harus pake bahasa inggris, mereka bisa menjabarkan panjang lebar dengan bahasa mereka sendiri. Mungkin lo bakal nanya darimana lo tahu itu mereka sendiri yang ngerjain? kalau gue sih ngeliatnya dari penulisannya, kata-kata yang typo, terus penggunaan tanda baca. Karena kalau copas dari artikel di google, penggunaan tanda bacanya udah beda dan bahasanya juga beda dengan bahasa sendiri. Diluar itu, ketika UTS dan UAS mereka mengerjakan soal yang menurut gue susah banget itu dengan begitu mudahnya, mereka membaca artikel untuk soal nomor 1 yang dalam bahasa inggris itu dengan teliti, dan ketika menjawab soal artikel itu jawaban mereka panjang-panjang banget, entah apa yang ditulis, sementera gue, setengah mati untuk bisa ngerti maksud dari artikel yang di ambil dari laman kompas itu, karena jangankan bahasa inggris ada kalanya gue aja nggak ngerti sama bahasa indonesia yang berat kayak relevan, subjektif, objektif, empiris, independent, etc.

Gue : Anak ekonomi juga sama, maksud gue... gayanya mereka rata-rata necis gitu... terus...terus... gue kan pernah ambil SP yang mayoritas diisi sama anak-anak ekonomi ya, nah yang bedain anak ekonomi sama anak broadcast itu, isi tas anak ekonomi itu beda sama anak Broadcast. Rata-rata alat tulis mereka sangat lengkap. Bahkan cowok yang duduk di samping gue waktu itu, di dalam tasnya ada segala tipex, pensil, pulpen. Beda banget kan sama kita?

Stefany : Setuju banget, malah anak ekonomi itu naro alat-alat tulisnya di dalem tempat pensil. Beda banget sama kita yang semuanya main di masukin ke dalam tas, malah kadang ke kampus nggak bawa alat tulis sama sekali cuma bawa diri doang.

Ini fakta! Apa yang fakta? Yang tadi Stefany bilang. Mungkin karena anak ekonomi itu cendrung main hitung-hitungan atau apalah yang gue nggak ngerti, jadinya isi tas mereka cendrung komplit, bahkan serba terorganisir dengan baik sampe-sampe pulpen aja di taro di tempat pinsil, bahkan pada bawa tipex, penggaris, steples, stabilo, pulpen, pensil dan pasti binder. Beda jauh dengan anak broadcasting, karena seperti yang stefany bilang kalau anak broadcast itu alat tulisnya cuma dimasukin secara sembarang di dalam tas bahkan adakalanya nggak bawa alat tulis sama sekali. Ini pengalaman gue, kalau nggak salah di semester 3 gitu, nah gue punya temen cowok ke kampus bawa ransel tapi di dalem ranselnya nggak ada satupun alat tulis. Isinya cuma ada handphone, power bank, dan kadang laptop. Dan kalau udah giliran nyatet dia bakal minta kertas sama orang disampingnya yaitu gue Nan, kertas dong selembar. Gue yang dulu nggak tahu kalau tasnya itu nggak ada isinya langsung mencak-mencak. Heran gue sama lo, tiap kali disuruh nulis nggak pernah ada alat tulis. Tas lo kan gede? apa sih isinya? dan setelah gue lihat, gue pun tahu kalau ransel buat dia itu fungsinya hanya untuk menaruh barang-barang 'penting' seperti Laptop, Handphone, Power Bank, dan Uang jadi diluar yang ada di dalam ranselnya itu nggak penting. Okay. Gak cuma satu dua orang aja yang kayak gitu, beberapa temen gue yang lain juga kayak gitu, dannnnn... Nggak cuma cowok yang ke kampus nggak bawa alat tulis yang cewekpun buanyaaaaakkkkk, apalagi yang ke kampus cuma bawa tas kecil doang. Bahkan...bahkan nih, ada yang cuma bawa isi bindernya doang wkkwkwkwkwk. Yaampunnnnnnnnnnnnnnnnnnn.

Memang nggak semua anak broadcasting, PR dan ekonomi seperti yang gue tuliskan di atas, karena setiap orang kan beda-beda, nah tulisan yang gue bagikan ini gue tulis berdasarkan obrolan gue sabtu kemarin dan berdasarkan pengalaman kita selama lebih kurang 3 tahun berada di kampus. Jadi, semuanya belum bisa di benarkan dan di salahkan. Karena "tidak semua" seperti itu, Okay...


Dont take it to heart!!!!😋😋

Monday, April 1, 2019

Buka Mata, Tutup Handphone, Buka Buku dan Kembali ke BUKUUUUUUUUUUUUU!!! (14/100)

Saat lo melihat seseorang yang duduk di kereta sambil membaca novel dan lo rindu moment-moment seperti itu, ah, waktu cepat berlalu yah...

Apaan sih? Aduh apaan sih? Aduh, kok kepala Halimah pusing? Aduh, nggak ngerti ah! dan setelahnya adegan itu di lanjutkan dengan melempar buku ke kasur terus ambil handphone dan denger musik, atau parahnya malah tidur-tiduran dan menghayal adegan-adegan film yang begitu sulit dilupakan. Butuh waktu cukup lama setelah adegan lempar buku itu untuk kembali lagi membuka halaman demi halaman dan hanyut di dalamnya, bahkan saat ini gue katakan sangat sulit untuk bisa hanyut di dalamnya, seriusan!!!

Apa yang terjadi? kenapa kayak gini? apakah pamor buku kalah dengan indahnya sosial media? Apakah buku sudah tidak bisa memberikan kesenangan untuk Halimah? Ataukah sosial media bisa menawarkan apa yang nggak di tawarkan laman buku yang punya ciri khas, tektsur kertas yang sedikit kasar dan bau khas buku yang selalu menenangkan? Dan apakah penting ngestalk akun idola sekedar lihat updatenya, sekedar lihat captionnya atau sekedar untuk memastikan bahwa dia punya cerita untuk di bagikan ke penggemarnya, yang pada akhirnya gue pun nggak kuasa melihat idola gue nangis karena kejutan di stage untuk 7 tahun yang mereka lalui *abaikan* Dan, yeah, Halimah kalah!!!!!! sosial media begitu menjajah, gue merasa otak gue sudah tumpul, bahkan sekedar untuk meresapi dialogue-dialogue ringanpun gue seperti nggak mampu, dan parahnya otak gue seakan mudah merasa lelah saat membaca buku yang dulu selalu menghibur? Bahkan untuk novel-novel ringan sekalipun, dengan sentuhan humor sana sini halimah masih nggak bisa meresapi!!!!!! *sedikit emosi* *ini emang begokkkk apa selera humor gue turun????*

Dan pada akhirnya guepun mengambil tindakan karena gue nggak mau di kalahkan dengan yang namanya sosial media, gue nggak mau sosial media mengambil alih gue, gue nggak mau terlalu beketergantungan dengan handphone, nggakkkkkkkkkkkkkkkkkk mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!!! *teriaaaaaaaaaaakkkkkkkkk* kalau untuk mengurangi ketergantungan itu kan nggak bisa cepet-cepet ya, segalanya berproses kan? maka gue pun memutuskan untuk mengurangi hari gue di sosmed, gimana caranya? uninstall aplikasi instagram tapi malah aktif di facebook *lho, sama aja?* intinya gue berusaha untuk keluar dari berbagai akun sosmed atau seenggaknya mengurangi pemakaian. Bahkan gue sempat kepikiran untuk menghapus aplikasi WhatsApp, tapi nggak jadi gara-gara itu satu-satunya media untuk terhubung dengan teman-teman kuliah. Gimana dengan youtube? oke, gue putuskan untuk tetap membiarkan dia ada, hanya saja untuk penggunaannya gue batasi, dan setelahnya gue memutuskan untuk menaruh handphone gue di tempat yang sulit di jangkau guna melepaskan kecendrungan itu. 

Omaygattttttttttttttttttttttt, gue bener-bener merasa sosial media selama ini buat gue teracuni secara perlahan, dan internet bener-bener sudah membuat gue jauh dari buku-buku yang hampir tiap saat gue pandangin, buku-buku yang kian hari semakin memadati lemari tapi nggak ada sedikitpun waktu gue tuangkan untuk itu karena sosial media!!!!! Apakah gue teralalu menyalahkan sosial media???? sebenernya enggak!!!! hanya saja segala sesuatu yang sudah terfasilitasi, dan akses mudah ke dalamnya membuat gue semakin, LUPAAAA DIRIIIIIIII!!!!!!!! ya, gimana gue nggak bisa lupa diri, ketika paket data habis gue langsung buru-buru beli pulsa, apalagi sekarang buat beli pulsa nggak hanya bisa diwarung,  dimanapun bisa!!!!!! fasilitas kan itu?

Bagaimanapun sosial media atau mungkin lebih tepatnya internet kali yah, itu memang bener-bener membantu gue dalam banyak hal, untuk browsing tentang penulis-penulis buku, untuk baca-baca cerpen-cerpen dari penulis-penulis terkenal kayak Jhumpa Lahiri yang satupun bukunya belum gue punya, dan bisa bantu gue untuk mencari tahu tentang apapun yang berhubungan dengan apa yang mengganjal di hati. Tapi, sadar atau nggak, dampak yang di timbulkan dari kemudahan itu buat gue lupa bahwa ada banyak hal yang bisa gue lakukan tanpa handphone, kayak baca buku, bersosialisasi, atau keluar untuk cari ide dalam menulis. Tapi karena gue sudah terlanjur terjebak di dalamnya, sulit untuk gue menemukan jalan pulang!!!!! Dan pada akhirnya gue menemukan titik balik setelah menyaksikan seseorang yang sibuk baca novel sepanjang perjalanan dari stasiun tanah abang ke rawabuntu, dan itu cukup menghadirkan tamparan keras buat gue sekedar untuk buka-buka lemari buku lagi dan lihat berapa banyak buku-buku yang sudah gue beli namun belum gue baca sama sekali, dan jawabannya, BUANYAKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!! diluar itu, gue sadar bahwa akhir-akhir ini gue sulit membaca dengan dalam, dan disinilah gue, kembali ke jalur.

SEBUAH BUKU YANG TERLUPAKAN SETELAH HAMPIR 3 TAHUN DI LEMARI

cover depan buku si pencuri anak - gambar dari google

yeap, percaya atau nggak ada sebuah buku yang gue beli hampir 3 tahun lalu dan sekarang masih belum selesai gue baca. Judulnya CHILD THIEF atau dalam bahasa indonesianya Si Pencuri Anak karangan penulis bernama BROM. Buku ini bergenre fantasy, dengan halamannya yang mencapai 931 hal, wow tebel banget ya? iya tebel banget!!! Bahkan temen gue aja sampe bilang, ini buku kayak alkitab hal yang buat gue langsung melirik tuh buku dan, memang bener!!!!!!!!!!!!

Buku ini gue beli di tahun 2016 di bulan januari atau februari gitu gue lupa, waktu itu gue beli buku ini karena tertarik pas baca sinopsis di belakangnya, di luar itu gue rindu tulisan fantasi setelah di SMK dulu gue sempat di pinjemin novel PETERPAN dari seorang temen dan gue bener-bener suka tuh buku sampai nggak bisa move on, meski sekarang udah lupa *yaiyalah, gue aja bacanya waktu kelas 2 SMK dan sekarang udah tahun ke 4 gue lulus dari SMK berapa tahun tuh cobakkkkkk???* itu sebabnya gue beli tuh buku dan berharap bisa menyelesaikannya secepat yang gue bisa. awal-awal gue beli buku itu gue bener-bener hanyut sama ceritanya, bahkan gue bawa kemana-mana nih buku, dan kalau nggak salah gue sudah mencapai 400 halaman waktu gue berhenti baca nih buku, dan setelahnya lo semua udah bisa duga..... sosial media mengalihkan dunia Halimah.... tapi karena Halimah memiliki sebuah keinginan kuat untuk bisa kembali hanyut dalam buku, untuk bisa menyelesaikan buku ini, alhasil buku dengan tebal 931 halaman ini sudah rampung halimah baca, meski kemarin halimah bacanya sambil sakit-sakit, kadang berhenti karena kepala halimah pusing, terus kehenti lagi karena 3 hari berikutnya Halimah ternyata harus di rawat inap wkwkwk, tapi kabar baiknya buku itu sudah rampung halimah baca, karena paginya Halimah diizinin balik sorenya Halimah sudah hanyut lagi sama tuh buku meski harus sambil menahan kepala yang sepenuhnya masih sakit. Lo tahu gaes, buku itu bener-bener diluar ekspektasi gueeeeeeeeeeeeeeeee... Jujur gue berharap banget Nick bakal pulang dan ketemu sama ibunya lagi buat bilang kalau dia itu sayang sama ibunya, untuk bilang kalau dia menyesal selama ini terlalu egois tanpa mikirin perasaan ibunya yang ditinggal mati bokapnya, tapi gara-gara si Peter Nick malah mati kena lempar lembing pas di dadanya... dan sumpah demi apapun gue sebel banget sama Sang Lady, dasar iblis tukang manfaatin fikiran orang!!!!! *tarik nafas* pokoknya demi apapun gue seneng banget bisa nyelesaian baca tuh buku!!!! Jadi kalau di hitung-hitung buku yang sudah halimah baca selama tahun 2019 ini ada, 4 wkwkkwkwkwk. Not bad lah ya!

Awalnya bener-bener sulit untuk bisa larut dalam laman buku, sumpah demi apapun... buat sekedar masuk ke cerita itu sulit banget terlebih untuk memantapkan hati menyelesaikannya, gak gampang! lebih banyak jeda dibandingkan baca. lebih banyak lirik hape dari pada fokus! tapi seiring berjalannya waktu dan dibantu dengan keyakinan untuk menjauhkan diri dari handphone perlahan gue udah mulai memfokuskan lagi dan alhamdulillahnya gue sudah mulai masuk lagi ke cerita itu, setelahnya hanya tinggal konsistensi aja untuk bisa baca lebih banyak buku dan beli buku secara berimbang, jangan kayak sekarang tiap bulan beli buku tapi bacanya nggak pernah, jadi numpuk kan buku gue???????????? Karena gimana ya? saat lo udah jatuh cinta atau hobbi sama sesuatu lo nggak akan pernah bisa berhenti untuk membli apapun tentang itu, meski lo jarang pake!!! jarang lo baca!! jarang lo bawa-bawa atau apapun istilah lainnya. misal lo hobbi fotografi, meski lo sadar lo nggak punya banyak waktu untuk itu tapi tiap kali lo lihat aksesoris-aksesoris kamera yang cocok atau ada promo-promo kamera pasti lo bakal beli, meski lo nggak punya waktu untuk sekedar hunting, percaya sama gue! dan itu juga terjadi saat gue suka buku, meski gue sadar gue nggak akan baca itu dengan segera tapi tiap kali ke toko buku, ada bazar buku pasti nggak akan pernah ngelewatin itu, meski lo cuma beli satu atau dua buku!! bener nggak? dan itu yang terjadi! Kayak gue, beberapa waktut lalu sepulang bayar kuliah Halimah rencana mau beli sepatu di salah satu pusat perbelanjaan *bahasanya Tuhannnnnn!* tapi pas lihat bandrolnya dan cek duit ternyata uang cash gue kurang guepun memutuskan untuk, nanti ajalah... padahal gue tinggal turun aja buat ke ATM dan ambil tambahannya, tapi nyatanya.... udahlah nani, duit lo kurang tuh... mending ke toko buku aja, siapa tahu ada promo-promo itu tadi kata setan, dan yeah, gue ikutin kata setan itu, gue pun naik ke eskalator dan.... sudah bisa di tebak.... guepun menghabiskan 1 jam waktu gue di bawah lindungan AC dan lagu-lagu enak yang berkumandang wkwkwkwkwk. dan faktanya duit yang udah gue siapkan buat beli sepatu akhirnya berkurang drastis lantaran gue pake buat beli buku, ehemmmmm *ceritanya batuk* maksud Halimah, Novel. Yeah begitulah, rasanya kalau ngomongin beli tas, sepatu, pakaian, alat make up, itu selalu “lumayan yah harganya” tapi kalau buku, meski ada moment tuh buku harganya 270rb untuk 1 buku doang itu gue bela-belain...... anjrit nggak??????? Tapi kalau gue lebih cerdas lagi, uang yang gue alokasikan buat kuota internet sebenernya jauh lebih besar lho daripada buat buku, lo bayangin kalau sebulannya 75rb, kan lumayan ya. Di blok m atau pasar senen lo bisa kok dapet 7 buku dengan duit segitu, beli yang 10rb maksudnya wkwkwkwk. Sudahlah yah!!!

ADA BANYAK HAL YANG BISA LO DAPET DENGAN BACA BUKU
bohong banget kalau lo nggak dapet apa-apa dari baca buku!!! gue tahu Frank Sinatra, Aristoteles, Plato, Jalaludin Rumi, Syaam Tarbiz, jenis-jenis penyakit kanker, dan banyak hal lain yang banyak temen gue dulu nggak tahu dari sebuah buku, yeah, meskipun semua buku yang gue baca adalah novel tapi gue bisa tahu banyak hal dari situ, gue bisa punya mimpi untuk terbang ke amerika karena sebuah buku, gue masuk jurusan broadcasting karena sebuah buku, gue berada disini karena sebuah buku, dan tanpa gue sadari bahwa buku selama ini sudah "cukup" membuka jendela pengetahuan gue meski itu nggak terlalu luas, meski itu nggak berdampak cukup besar, meski itu ternyata sempat berlalu, dan buku.... gue bisa selangkah lebih tahu tentang banyak hal di bandingkan anak-anak seusia gue kala itu. dan sekarang gue merasa bahwa gue bener-bener rindu buku-buku gue, gue kepingin belajar lagi dari sana, gue kepingin untuk bisa berimajinasi lagi, gue mau untuk berada di tempat-tempat yang belum pernah gue datengin, dan satu-satunya cara untuk gue yang belum punya cukup uang untuk menginjakkan kaki di negara-negara dalam latar cerita cukuplah membayangkannya dulu sebagai gambarannya, meskipun memang lebih mudah menjelajah dunia maya dan melihat negara-negara impian di google, lho?????

karena buku, seseorang pernah bilang sama gue, katanya pemilihan kata gue pas lagi ngomong atau lagi nulis itu beda banget sama anak-anak seusia gue yang nggak terlalu suka baca, dan pernah gue juga denger entah dimana kalau kita bego maka banyaklah denger orang-orang pinter ngomong biar kita bisa kebawa pinter lewat dialogue-dialogue cerdas mereka, baca buku-buku yang orang-orang pinter baca!! kalau yang pertama gue masih suka implementasiin dengan sering nonton program dialogue di metro meski seringnya cuma dengerin, kan dengering katanya!!!! salah nggak?????? mau nyimak kek enggak kek, yang penting kan dengerin *pasang senyum tolol* tapi kalau pas di bagian kedua, baca buku-buku yang di baca orang pinter kayaknya gue belom deh, soalnya selama ini gue terlalu membatasi diri dengan hanya membaca buku yang genrenya gue suka aja, jadi masih belajar lah yahhh hahhahahahahaahah. Tapi sekarang gue nggak mau membatasi apa yang gue baca, karena yang ingin gue batasi adalah penggunaan sosial media dan handphone gue yang sangat pintar ini.

Well, Bye Instagram, maafkan daku yang tidak bisa mempertahankanmu. Kamu terlalu baik buat akohhhhhh, kenyamanan kamuh buat akoh jarang buka buku, kenyamanan kamuh buat akoh jadi, yeah begitulah....

Fesbuk, kamuh selanjutnyahhhhhhhhhh yah. Akoh lagi belajar secara bertahap.

Dan, yuk baca buku lagiiiiiiiiiiiiiiiiii 😂