Wednesday, September 2, 2015

Balada Penantian


 
Langit malam yang berupa awan berwarna merah kini sudah berganti pekat,yah, malam talah tiba. Bahkan tanpa kusadari jam di tanganku sudah menunjukan angka 8. Di bawah lampu jalan yang temaram ini aku duduk bersama bebarapa orang lain. Menunggu seseorang yang kini entah berada dimana. Ditemani air mineral yang tinggal setengahnya ini aku mencoba untuk bersabar, menanti kedatangannya yang entah kapan. Mungkin sebentar lagi, Mungkin kini dia terjebak macetnya jalan-jalan ibu kota pikirku untuk menghibur diri.
Aku tengadah, mencoba menjelajah langit untuk menemukan rasi bintangnya, namun, tak ada satupun bintang di langit Jakarta malam ini. Yang ku lihat hanyalah awan hitam yang menaungi gedung-gedung pencakar langit yang berdieri pongah di tengah jalan-jalan yang di penuhi kendaraan dengan klakson saling bersautan.
Aku masih setia menanti. Walau kini satu persatu orang yang duduk-duduk di dekatku telah beranjak pergi bersama pikirannya masing-masing. Hanya ada wanita muda berkacamata yang tengah memainkan ponselnya, laki-laki beransel dengan Koran tadi pagi yang tengah di baca olehnya, wanita setengah baya penjual kopi yang asyik memakan kacang rebus dan beberapa mahasiswa yang tengah asyik dengan obrolan-obrolannya.
Mataku tertuju pada jam ditanganku yang kini sudah menunjukan angka 9 lewat 23, namun seorang yang membuatku menanti belum juga tiba, bahkan air mineralku telah tandas menyusul sebuah harap yang entah akan berakhir seperti apa. Harapan yang talah setia menemaniku menanti hingga berjam-jam lamanya. Aku beringsut dari tempat dudukku, bertanya pada diriku sendiri, kemanakah sosok yang ku nanti-nantikan ini, lupakah ia akan janjinya padaku??
Malam semakin larut, sosok yang kunantikan tak kunjung datang. Walau nuraniku berkata ia akan datang. Namun kenyataan menyuguhkan sesuatu yang tak kuharapkan.
Kini di bawah naungan pekat aku tertunduk kecewa, aku tertunduk marah, aku tertunduk dengan hati teriris hingga tak terasa air mataku mengalir di pipiku dengan sangat derasnya.
Dengan hati perih bercampur kecewa yang teramat, aku pun pergi meninggalkan tempat dimana kau berjanji akan datang, menyusuri trotoar yang diterangi cahaya temaram, setemaram wajahku yang kini di hiasi jejak-jejak kekecewaan atas sebuah janji yang janji.
Mungkin seharusnya aku memercayai bahwa ia tak akan pernah datang untuk menemuiku lagi, walaupun aku menantinya di tengah badai sekalipun. Karena penantianku telah usai bersama kabar kematiannya.

No comments:

Post a Comment