Langit malam yang
berupa awan berwarna merah kini sudah berganti pekat,yah, malam talah tiba.
Bahkan tanpa kusadari jam di tanganku sudah menunjukan angka 8. Di bawah lampu
jalan yang temaram ini aku duduk bersama bebarapa orang lain. Menunggu
seseorang yang kini entah berada dimana. Ditemani air mineral yang tinggal
setengahnya ini aku mencoba untuk bersabar, menanti kedatangannya yang entah
kapan. Mungkin sebentar lagi, Mungkin kini dia terjebak macetnya jalan-jalan
ibu kota pikirku untuk menghibur diri.
Aku tengadah,
mencoba menjelajah langit untuk menemukan rasi bintangnya, namun, tak ada
satupun bintang di langit Jakarta malam ini. Yang ku lihat hanyalah awan hitam
yang menaungi gedung-gedung pencakar langit yang berdieri pongah di tengah
jalan-jalan yang di penuhi kendaraan dengan klakson saling bersautan.
Aku masih setia
menanti. Walau kini satu persatu orang yang duduk-duduk di dekatku telah
beranjak pergi bersama pikirannya masing-masing. Hanya ada wanita muda
berkacamata yang tengah memainkan ponselnya, laki-laki beransel dengan Koran
tadi pagi yang tengah di baca olehnya, wanita setengah baya penjual kopi yang
asyik memakan kacang rebus dan beberapa mahasiswa yang tengah asyik dengan
obrolan-obrolannya.
Mataku tertuju
pada jam ditanganku yang kini sudah menunjukan angka 9 lewat 23, namun seorang
yang membuatku menanti belum juga tiba, bahkan air mineralku telah tandas
menyusul sebuah harap yang entah akan berakhir seperti apa. Harapan yang talah
setia menemaniku menanti hingga berjam-jam lamanya. Aku beringsut dari tempat
dudukku, bertanya pada diriku sendiri, kemanakah sosok yang ku nanti-nantikan
ini, lupakah ia akan janjinya padaku??
Malam semakin
larut, sosok yang kunantikan tak kunjung datang. Walau nuraniku berkata ia akan
datang. Namun kenyataan menyuguhkan sesuatu yang tak kuharapkan.
Kini di bawah
naungan pekat aku tertunduk kecewa, aku tertunduk marah, aku tertunduk dengan
hati teriris hingga tak terasa air mataku mengalir di pipiku dengan sangat
derasnya.
Dengan hati perih
bercampur kecewa yang teramat, aku pun pergi meninggalkan tempat dimana kau
berjanji akan datang, menyusuri trotoar yang diterangi cahaya temaram,
setemaram wajahku yang kini di hiasi jejak-jejak kekecewaan atas sebuah janji
yang janji.
Mungkin seharusnya
aku memercayai bahwa ia tak akan pernah datang untuk menemuiku lagi, walaupun
aku menantinya di tengah badai sekalipun. Karena penantianku telah usai bersama
kabar kematiannya.
No comments:
Post a Comment