Thursday, June 23, 2016

saya biarkan dia bicara lewat surat terbuka, tentang dia dan seseorang dalam hidupnya.



Ada yang bilang, cinta pertama itu selalu memiliki kesan yang tak mudah untuk dilupakan. Bahkan seorang teman berkata padaku bahwa terkadang ia merindukan masa itu, walaupun cinta yang dialaminya tumbuh di bawah atap sekolah. Jujur, aku tertawa mendengar setiap sesi yang ia ceritakan tentang seorang yang ia panggil sebagai mantan, tentang sosok anak laki-laki berseragam SMA yang mampu mengalihkan perhatiannya, dan mampu mengambil hatinya. Ada saat dimana aku tak sependapat dengannya mengenai definisi cinta pertama yang penuh warna, namun beberapa saat kemudian, ketika sosokmu tiba-tiba hadir dan memenuhi ingatanku, aku baru percaya dengan itu. Tentang bagaimana cinta pertama yang mampu menghadirkan warna dalam hidupku, dari mulai merah muda hingga hitam tua. Cinta yang telah menerbangkan dan lantas menghempaskanku kembali tanpa perduli aku siap atau tidak untuk menerima sakitnya. Sebenarnya bukan kau yang menghempaskanku, melainkan takdir. Ah, maaf, sejak kapan aku menyalahkan takdir? Bukankah setiap luka yang kita pernah rasakan karena kesalahan kita? Itu kata-katamu dulu, ketika aku menangis dibahumu. Aku ingat benar, ketika kau berkata bahwa, sepahit apapun kehidupan ini, tak sepantasnya kita menyalahkan takdir, karena bagaimanapun kita yang menjadi penyebab atas segala sakit yang kita rasa. Pertanyaanku selalu, sayang, siapa yang memulai ini semua? Kamu atau aku? Ah, mengapa Tuhan menghadirkan cinta pertamaku justru seseorang sepertimu? Seseorang yang menurutku tak pernah mau memperjuangkanku ketika sebagian laki-laki memperjuangkan wanitanya. Apa kau malu memperjuangkan seorang nasrani sepertiku? Atau kau tak pernah benar-benar serius dengan semua kata-katamu?
3 tahun, itu adalah waktu yang cukup lama untuk ukuran cinta pertama bagi wanita yang sama sekali tak pernah mengenal cinta di usiaku saat itu. Dan kau, kau hadir dan mengenalkannya padaku, bahkan berkata bahwa hanya bersama akulah kau akan hidup, bukan dengan yang lain. Tapi, kenyataannya??? Apa sekarang kita bersama? Apa sekarang ada cincin yang melingkar di jari manisku? Tidak!!
Aku lupa bagaiman cinta yang disembah sebagian orang itu membuat kita hanyut didalamnya, bahkan sampai membuatmu berkata “aku hanya akan menikah dengan kamu, bukan dengan yang lain”. Hei, aku wanita!! Aku mudah untuk menerima janji. Aku mudah untuk menagih itu kemudian. Dan aku mudah juga untuk menangis ketika ucapanmu tak sesuai dengan apa yang kau lakukan. Aku wanita. Dan wajar kalau dulu aku menagih janjimu, karena aku ingin memulai semua… kehidupan layaknya orang lain, berkeluarga….
Tapi yang kita lakukan adalah memulai semua kenyataan bahwa kau dan aku tak seharusnya berjalan selama 3 tahun. tak seharusnya….
Lantas, mengapa kau membawa aku terlalu jauh? Sampai akhirnya aku terbawa suasana cinta yang tak sepantasnya terjadi… kenapa sayang? Apa kau punya cukup alasan untuk menjawab semua tanyaku? Atau kau masih dengan sikapmu?
Alah, sudahlah… aku tak perlu menanyakannya lagi. Mungkin, aku tahu alasannya. Tapi, menua bersamaku tanpa ikatan?? Boleh aku bertanya padamu? Apa ini caramu untuk memperjuangkanku?
Kata seorang padaku, kau masih terus menungguku. Menunggu untuk apa? Menunggu aku melepas kesendirianku? Tak perlu kau lakukan itu. Menikahlah. Bukan kesalahanmu kalau kini kita seperti ini. Menikahlah sayang, aku berjanji tak akan menangisimu seperti dulu. Jangan pernah menunggu aku, karena aku akan terus dengan kesendirianku.
Lupakan aku… cukuplah masa bersedihmu, karena ada banyak wanita yang bersedia menua bersamamu, yang rela menunggumu ketika malam datang dan kau belum juga pulang, wanita yang rela merawat anak-anakmu yang nakal namun cerdas, juga wanita yang senantiasa mendengarkanmu membaca al-qur’an disepanjang malam. Dan wanita itu, bukan seorang nasrani sepertiku…
Jemputlah wanitamu sayang, jemputlah ia seperti kau pernah menjemputku….

2 comments: